TUGAS TARBIYAH
“BIOGRAFI ISTRI ISTRI NABI MUHAMMAD
SAW”
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
WAODE NUR HASMA
BOMBANA
2017
BAB
I
ISTRI
PERTAMA
Khadijah binti
Khuwailid (wafat 3h)
Khadijah binti
Khuwailid adalah sebaik-baik wanita ahli surga. Ini sebagaimana sabda Rasulullah,
“Sebaik-baik wanita ahli surga adalah Maryam binti Imran dan Khadijah binti
Khuwailid.”
Khadijah adalah
wanita pertama yang hatinya tersirami keimanan dan dikhususkan Allah untuk
memberikan keturunan bagi Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam., menjadi
wanita pertama yang menjadi Ummahatul Mukminin, serta turut merasakan berbagai
kesusahan pada fase awal jihad pcnyebaran agarna Allah kepada seluruh umat
manusia.
Khadijah adalah
wanita yang hidup dan besar di lingkungan Suku Quraisy dan lahir dari keluarga
terhormat pada lima belas tahun sebelum Tahun Gajah, sehingga banyak pemuda
Quraisy yang ingin mempersuntingnya.
Sebelum menikah
dengan Rasulullah, Khadijah pernah dua kali menikah. Suami pertama Khadijah
adalah Abu Halah at-Tamimi, yang wafat dengan meninggalkan kekayaan yang
banyak, juga jaringan perniagaan yang luas dan berkembang. Pernikahan kedua
Khadijah adalah dengan Atiq bin Aidz bin Makhzum, yang juga wafat dengan
meninggalkan harta dan perniagaan. Dengan demikian, Khadijah menjadi orang
terkaya di kalangan suku Quraisy.
A.
Wanita Suci
Sayyidah Khadijah
dikenal dengan julukan wanita suci sejak perkawinannya dengan Abu Halah dan
Atiq bin Aidz karena keutamaan ãkhlak dan sifat terpujinya. Karena itu, tidak
heran jika kalangan Quraisy memberikan penghargaan dan berupa penghormatan yang
tinggi kepadanya.
Kekayaan yang
berlimpahlah yang menjadikan Khadijah tetap berdagang. Akan tetapi, Khadijah
merasa tidak mungkin jika sernua dilakukan tanpa bantuan orang lain. Tidak
mungkin jika dia harus terjun langsung dalam berniaga dan bepergian membawa
barang dagangan ke Yaman pada musim dingin dan ke Syam pada musim panas.
Kondisi itulah yang menyebabkan Khadijah mulai mempekerjakan beberapa karyawan
yang dapat menjaga amanah atas harta dan dagangannya. Untuk itu, para
karyawannya menerima upah dan bagian keuntungan sesuai dengan kesepakatan.
Walaupun pekerjaan itu cukup sulit, bermodalkan kemampuan intelektual dan
kecemer1angan pikiran yang didukung oleh pengetahuan dasar tentang bisnis dan bekerja
sama, Khadijah mampu menyeleksi orang-orang yang dapat diajak berbisnis. Itulah
yang mengantarkan Khadilah menuju kesuksesan yang gemilang.
B.
Pemuda yang Jujur
Khadijah memiliki
seorang pegawai yang dapat dipercaya dan dikenal dengan nama Maisarah. Dia
dikenal sebagai pemuda yang ikhlas dan berani, sehingga Khadijah pun berani
melimpahkan tanggung jawab untuk pengangkatan pegawai baru yang akan mengiring
dan menyiapkan kafilah, menentukan harga, dan memilih barang dagangan.
Sebenarnya itu adalah pekerjaan berat, namun penugasan kepada Maisarah tidaklah
sia-sia.
C.
Pemuda Pemegang Amanah
Kaum Quraisy tidak
mengenal pemuda mana pun yang wara, takwa, dan jujur selain Muhammad bin
Abdullah, yang sejak usia lima belas tahun telah diajak oleh Maisarah untuk
menyertainya berdagang.
Seperti biasanya,
Maisarah menyertai Muhammad ke Syam untuk membawa dagangan Khadijah, karena
memang keduanya telah sepakat untuk bekerja sama. Perniagaan mereka ketika itu
memberikan keuntungan yang sangat banyak sehingga Maisarah kembali membawa
keuntungan yang berlipat ganda. Maisarah mengatakan bahwa keuntungan yang
mereka peroleh itu berkat Muhammad yang berniaga dengan penuh kejujuran.
Maisarah menceritakan kejadian aneh selama melakukan perjalanan ke Syam dengan
Muhammad. Selama perjalanan, dia melihat gulungan awan tebal yang senantiasa
mengiringi Muhammad yang seolah-olah melindungi beliau dari sengatan matahari.
Dia pun mendengar seorang rahib yang bernama Buhairah, yang mengatakan bahwa
Muhammad adalah laki-laki yang akan menjadi nabi yang ditunggu-tunggu oleh
orang Arab sebgaimana telah tertulis di dalam Taurat dan Injil.
Cerita-cerita tentang
Muhammad itu meresap ke dalam jiwa Khadijah, dan pada dasarnya Khadijah pun
telah merasakan adanya kejujuran, amanah, dan cahaya yang senantiasa menerangi
wajah Muhammad. Perasaan Khadijah itu menimbulkan kecenderungan terhadap
Muhammad di dalam hati dan pikirannya, sehingga dia menemui anak pamannya,
Waraqah bin Naufal, yang dikenal dengan pengetahuannya tentang orang- orang
terdahulu. Waraqah mengatakan bahwa akan muncul nabi besar yang
dinanti-nantikan manusia dan akan mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju
cahaya Allah. Penuturan Waraqah itu menjadikan niat dan kecenderungan Khadijah
terhadap Muhammad semakin bertambah, sehingga dia ingin menikah dengan
Muhammad. Setelah itu dia mengutus Nafisah, saudara perempuan Ya’la bin Umayyah
untuk meneliti lebih jauh tentang Muhammad, sehingga akhirnya Muhammad diminta
menikahi dirinya.
Ketika itu Khadijah
berusia empat puluh tahun, namun dia adalah wanita dari golongan keluarga
terhormat dan kaya raya, sehingga banyak pemuda Quraisy yang ingin menikahinya.
Muhammad pun menyetujui permohonan Khadijah tersebut. Maka, dengan salah
seorang pamannya, Muhammad pergi menemui paman Khadijah yang bernama Amru bin
As’ad untuk meminang Khadijah.
D.
Istri Pertama Rasulullah
Allah menghendaki
pernikahan hamba pilihan-Nya itu dengan Khadijah. Ketika itu, usia Muhammad
baru menginjak dua puluh lima tahun, sementara Khadijah empat puluh tahun.
Walaupun usia mereka terpaut sangat jauh dan harta kekayaan mereka pun tidak
sepadan, pernikahan mereka bukanlah pernikahan yang aneh, karena Allah
Subhanahu wa ta’ala telah memberikan keberkahan dan kemuliaan kepada mereka.
Khadijah adalah istri
Nabi yang pertama dan menjadi istri satu-satunya sebelum dia rneninggal. Allah
menganugerahi Nabi Shallallahu alaihi wassalam. melalui rahirn Khadijah
beberapa orang anak ketika dibutuhkan persatuan dan banyaknya keturunan. Dia
telah mernberikan cinta dan kasih sayang kepada Rasuluflah Shallallahu alaihi
wassalam. pada saat-saat yang sulit dan tindak kekerasan dan kekejaman datang
dari kerabat dekat. Bersama Khadijah, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.
mernperoleh per1akuan yang baik serta rumah tangga yang tenteram damai, dan
penuh cinta kasih, setelah sekian lama beliau merasakan pahitnya menjadi anak
yatirn piatu dan miskin.
E.
Putra-putri Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam
Khadijah melahirkan
dua orang anak laki-laki, yaitu Qasim dan Abdullah serta empat orang anak
perempuan, yaitu Zainab, Ruqayah, Ummu Kultsum dan Fatimah. Seluruh putra dan
putrinya lahir sebelum masa kenabian, kecuali Abdullah. Karena itulah, Abdullah
kemudian dijuluki ath-Thayyib (yang balk) dan ath-Thahir (yang suci).
Zainab banyak
rnenyerupai ibunya. Setelah besar, Zainab dinikahkan dengan anak bibinya, Abul
Ash ibnur Rabi’. Pernikahan Zainab ini merupakan peristiwa pertama Rasulullah
rnenikahkan putrinya, dan yang terakhir beliau menikahkan Ummu Kultsum dan
Ruqayah dengan dua putra Abu Lahab, yaitu Atabah dan Utaibah. Ketika Nabi
Shallallahu alaihi wassalam. diutus menjadi Rasul, Fathimah az-Zahra, putri
bungsu beliau rnasih kecil.
Selain mereka ada
juga Zaid bin Haritsah yang sering disebut putra Muhammad. Semula, Zaid dibeli
oleh Khadijah dari pasar Mekah yang kemudian dijadikan budaknya. Ketika
Khadijah menikah dengan Muhammad, Khadijah memberikan Zaid kepada Muhammad
sebagai hadiah. Rasulullah sangat mencintai Zaid karena dia memiliki
sifat-sifat yang terpuji. Zaid pun sangat mencintai Rasulullah. Akan tetapi di
tempat lain, ayah kandung Zaid selalu mencari anaknya dan akhirnya dia mendapat
kabar bahwa Zaid berada di tempat Muhammad dan Khadijah. Dia mendatangi
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam untuk memohon agar beliau mengembalikan Zaid
kepadanya walaupun dia harus membayar mahal. Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam memberikan kebebasan penuh kepada Zaid untuk memilih antara tetáp
tinggal bersamanya dan ikut bersama ayahnya. Zaid tetap memilih hidup bersama
Rasulullah, schingga dan sinilah kita dapat mengetahuisifat mulia Zaid.
Agar pada kemudian
hari nanti tidak menjadi masalah yang akan memberatkan ayahnya, Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam. dan Zaid bin Haritsah menuju halaman Ka’bah untuk
mengummkan kebebasan Zaid dan pengangkatan Zaid sebagai anak. Setelah itu,
ayahnya merelakan anaknya dan merasa tenang. Dari situlah mengapa banyak yang
menjuluki Zaid dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Akan tetapi, hukum
pengangkatan anak itu gugur setelah turun ayat yang membatalkannya, karena hal
itu merupakan adat jahiliah, sebagaimana firman Allah berikut ini:
” … jika kamu
mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah merela sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu … ” (QS. At-Taubah:5)
F.
Pada Masa Kenabian Muhammad Shallallahu alaihi wassalam.
Muhammad bin Abdullah
hidup berumah tangga dengan Khadijah binti Khuwailid dengan tenterarn di bawah
naungan akhlak mulia dan jiwa suci sang suami. Ketika itu, Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam. menjadi tempat mengadu orang-orang Quraisy dalam
menyelesaikan perselisihan dan pertentangan yang terjadi di antara mereka. Hal
itu menunjukkan betapa tinggi kedudukan Rasulullah di hadapan mereka pada masa
prakenabian. Beliau menyendiri di Gua Hira, menghambakan din kepada Allah yang
Maha Esa, sesuai dengan ajaran Nabi Ibrahim a.s.
Khadijah sangat
ik.hlas dengan segala sesuatu yang dilakukan suaminya dan tidak khawatir selama
ditinggal suaminya. Bahkan dia menjenguk serta menyiapkan makanan dan minuman
selama beliau di dalam gua, karena dia yakin bahwa apa pun yang dilakukan
suaminya merupakan masalah penting yang akan mengubah dunia. Ketika itu, Nabi
Muhammad berusia empat puluh tahun.
Suatu ketika, seperti
biasanya beliau menyendiri di Gua Hira –waktu itu bulan Ramadhan–. Beliau
sangat gemetar ketika mendengar suara gaib Malaikat Jibril memanggil beliau.
Malaikat Jibril menyuruh beliau membaca, namun beliau hanya menjawab, “Aku
tidak dapat membaca.” Akhirnya, Malaikat Jibril mendekati dan mendekap beliau
ke dadanya, seraya berkata, “Bacalah, wahai Muhammad!” Ketika itu Muhammad
sangat bingung dan ketakutan, seraya menjawab, “Aku tidak dapat membaca.”
Mendengar itu, Malaikat Jibril mempererat dekapannya, dan berkata, “Bacalah
dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Dia mengajari manusia dengan
perantaraan pena. Dia mengajarkan segala sesuatu yang belum mereka ketahui.”
Rasulullah Muhammad mengikuti bacaan tersebut. Keringat deras mengucur dari
seluruh tubuhnya sehingga beliau kepayahan dan tidak menemukan jalan menuju
rumah. Khadijah melihat beliau dalam keadaan terguncang seperti itu, kemudian
memapahnya ke rumah, serta berusaha menghilangkan ketakutan dan kekhawatiran
yang memenuhi dadanya. “Berilah aku selimut, Khadijah!” Beberapa kali beliau
meminta istrinya menyelimuti tubuhnya. Khadijah memberikan ketenteraman kepada
Rasulullah dengan segala kelembutan dan kasih sayang sehingga beliau merasa
tenteram dan aman. Beliau ridak langsung menceritakan kejadian yang menimpa
dirinya kepada Khadijah karena khawatir Khadijah menganggapnya sebagai ilusi
atau khayalan beliau belaka.
G.
Pribadi yang Agung
Setelah rasa takut
beliau hilang, Khadilah berupaya agar Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.
mengutarakan apa yang telah dialaminya, dan akhirnya beliau pun menceritakan
peristiwa yang baru dialaminya. Khadijah mendengarkan cerita suaminya dengan
penuh minat dan mempercayai semuanya, sehingga Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam. merasa bahwa istrinya pun menduga akan terjadinya hal-hal seperti
itu.
Sejak semula Khadijah
telah yakin bahwa suaminya akan menerima amanat Allah Yang Maha Besar untuk
seluruh alam semesta. Kejadian tersebut merupakan awal kenabian dan tugas
Muhammad menyampaikan amanat Allah kepada manusia. Hal itu pun merupakan babak
baru dalam kehidupan Khadijah yang dengannya dia harus mempercayai dan meyakini
ajaran Rasulullah Muhammad, sehingga Rasulullah mengatakan, “Aku
rnengharapkannya menjadi benteng yang kuat bagi diriku.”
Di sinilah tampak
kebesaran pribadi serta kematangan dan kebijaksanaan pemikiran Khadijah.
Khadijah telah mencapai derajat yang tinggi dan sempurna, yang belum pernah
dicapai oleh wanita mana pun. Dia telah berkata kepada Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam, “Demi Allah, Allah tidak akan menyia nyiakanrnu Engkau selalu
menghubungkan silaturahim, berbicara benar, memikul beban orang lain, menolong
orang papa, menghorrnati tamu, dan membantu meringankan derita dan musibah
orang lain.”
Setelah Rasulullah
merasa tenteram dan dapat tidur dengan tenang, Khadijah mendatangi anak
pamannya, Waraqah bin Naufal, yang tidak terpengaruhi tradisi jahiliah.
Khadijah menceritakan kejadian yang dialami suaminya. Mendengar cerita mengenai
Rasulullah, Waraqah berseru, “Maha Mulia…Maha Mulia…. Demi yang jiwa Waraqah
dalam genggaman-Nya, kalau kau percaya pada ucapanku, maka apa yang diihat
Muhammad di Gua Hira itu merupakan suratan yang turun kepada Musa dan Isa
sebelumnya, dan Muhammad adalah nabi akhir zaman, dan namanya tertulis dalam
Taurat dan Injil.” Mendengar kabar itu, Khadijah segera menemui suaminya
(Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam) dan menyampaikan apa yang dikatakan
oleh Waraqah.
H.
Awal Masa Jihad di Jalan Allah
Khadijah meyakini
seruan suaminya dan menganut agarna yang dibawanya sebelum diumumkan kepada
rnasyarakat. Itulah langkah awal Khadijah dalam menyertai suaminya berjihad di
jalan Allah dan turut menanggung pahit getirnya gangguan dalam menyebarkan
agama Allah.
Beberapa waktu
kemudian Jibril kembali mendatangi Muhammad Shallallahu alaihi wassalam. untuk
membawa wahyu kedua dari Allah:
“Hai orang yang
berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan dan Tuhanmu
agungkanlah dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala)
tinggalkanlah, dan janganlab kamu memberi (dengan maksud) memperoleb (balasan)
yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah” (QS.
Al-Muddatstir:1-7)
Ayat di atas
merupakan perintah bagi Rasulullah untuk mulai berdakwah kepada kalangan
kerabat dekat dan ahlulbait beliau. Khadijah adalah orang pertama yang menyatap
kan beriman pada risalah Rasulullah Muhammad dan menyatakan kesediaannya
menjadi pembela setia Nabi. Kemudian menyusul Ali bin Abi Thalib, anak paman
Rasulullah yang sejak kecil diasuh dalam rumah tangga beliau. Ali bin Abi
Thalib adalah orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak, kemudian
Zaid bin Haritsah, hamba sahaya Rasulullah yang ketika itu dijuluki Zaid bin
Muhammad. Dari kalangan laki-laki dewasa, mulailah Abu Bakar masuk Islam, diikuti
Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqash, az-Zubair ibnu
Awam, Thalhah bin Ubaidilah, dan sahabat-sahat lainnya. Mereka masuk menyatakan
Islam secara sembunyi-sembunyi sehingga harus melaksanakan shalat di pinggiran
kota Mekah.
I.
Masa Berdakwah Terang-terangan
Setelah berdakwah
secara sembunyi- sembunyi, turunlah perintah Allah kepada Rasulullah untuk
memulai dakwah secara terang-terangan. Karena itu, datanglah beliau ke
tengah-tengah umat seraya berseru lantang, “Allahu Akbar, Allahu Akbar… Tiada
Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, Dia tidak melahirkan, juga tidak
dilahirkan.” Seruan beliau sangat aneh terdengar di telinga orang-orang
Quraisy. Rasulullah Muhammad memanggil manusia untuk beribadah kepada Tuhan
yang satu, bukan Laata, Uzza, Hubal, Manat, serta tuhan-tuhan lain yang
mernenuhi pelataran Ka’bah. Tentu saja mereka menolak, mencaci maki, bahkan
tidak segan-segan menyiksa Rasulullah. Setiap jalan yang beliau lalui ditaburi
kotoran hewan dan duri.
Khadijah tampil
mendampingi Rasulullah dengan penuh kasih sayang, cinta, dan kelembutan.
Wajahnya senantiasa membiaskan keceriaan, dan bibirnya meluncur kata-kata
jujur. Setiap kegundahan yang Rasulullah lontarkan atas perlakuan orang-orang
Quraisy selalu didengarkan oleh Khadijah dengan penuh perhatian untuk kemudian
dia memotivasi dan rnenguatkan hati Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassalam.
Bersama Rasulullah, Khadijah turut menanggung kesulitan dan kesedihan, sehingga
tidak jarang dia harus mengendapkan perasaan agar tidak terekspresikan pada
muka dan mengganggu perasaan suaminya. Yang keluar adalab tutur kata yang lemah
lembut sebagai penyejuk dan penawar hati.
Orang yang paling
keras menyakiti Rasulullah adalah paman beliau sendiri, Abdul Uzza bin Abdul
Muthalib, yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Lahab, beserta istrinya, Ummu
Jamil. Mereka memerintah anak-anaknya untuk memutuskan pertunangan dengan kedua
putri Rasulullah, Ruqayah dan Ummu Kultsum. Walaupun begitu, Allah telah
menyediakan pengganti yang lebih mulia, yaitu Utsman bin Affan bagi Ruqayah.
Allah mengutuk Abu Lahab lewat firman-Nya :
“Binasalah kedua
tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya
harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang
bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya
ada tali dan sabut. “ (QS. Al-Lahab:1-5)
Khadijah adalah
tempat berlindung bagi Rasulullah. Dari Khadijah, beliau memperoleh keteduhan
hati dan keceriaan wajah istrinya yang senantiasa menambah semangat dan
kesabaran untuk terus berjuang menyebarluaskan agama Allah ke seluruh penjuru.
Khadijah pun tidak memperhitungkan harta bendanya yang habis digunakan dalam
perjuangan ini. Sementara itu, Abu Thalib, parnan Rasulullah, menjadi benteng
pertahanan beliau dan menjaga beliau dari siksaan orang-orang Quraisy, sebab
Abu Thalib adalah figur yang sangat disegani dan diperhitungkan oleh kaum
Quraisy.
J.
Pemboikotan Kaum Quraisy terhadap Kaum Muslimin
Setelah berbagai
upaya gagal dilakukan untuk menghentikan dakwah Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam, baik itu berupa rayuan, intimidasi, dan penyiksaan, kaum Quraisy
memutuskan untuk memboikot dan mengepung kaum muslimin dan menulis deklarasi
yang kemudian digantung di pintu Ka’bah agar orang-orang Quraisy memboikot kaum
muslimin, termasuk Rasulullah, istrinya, dan juga pamannya. Mereka terisolasi
di pinggiran kota Mekah dan diboikot oleh kaum Quraisy dalam bentuk embargo
atas transportasi, komunikasi, dan keperluan sehari-hari lainnya.
Dalam kondisi seperti
itu, Rasulullah dan istrinya dapat bertahan, walaupun kondisi fisiknya sudah
tua dan lemah. Ketika itu kehidupan Khadijah sangat jauh dan kehidupan
sebelumnya yang bergelimang dengan kekayaan, kemakmuran, dan ketinggian
derajat. Khadijah rela didera rasa haus dan lapar dalam mendampingi Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam. dan kaum muslimin. Dia sangat yakin bahwa tidak
lama lagi pertolongan Allah akan datang. Keluarga mereka yang lain, sekali-kali
dan secara sembunyi-sembunyi, mengirimkan makanan dan minuman untuk
mempertahankan hidup. Pemboikotan itu berlangsung selama tiga tahun, tetapi
tidak sedikit pun menggoyahkan akidah mereka, bahkan yang mereka rasakan adalah
bertambah kokohnya keimanan dalam hati. Dengan demikian, usaha kaum Quraisy
telah gagal, sehingga mereka mengakhiri pemboikotan dan membiarkan kaum
muslimin kembali ke Mekah. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. pun kembali
menyeru nama Allah Yang Mulia dan melanjutkan jihad beliau.
K.
Wafatnya Khadijah
Beberapa hari setelah
pemboikotan, Abu Thalib jatuh sakit, dan semua orang meyakini bahwa sakit kali
mi merupakan akhir dan hidupnva. Dalam keadaan seperti itu, Abu Sufjan dan Abu
Jahal membujuk Abu Thalib untuk menasehati Muhammad agar menghentikan
dakwahnya, dan sebagai gantinya adalah harta dan pangkat. Akan tetapi, Abu
Thalib tidak bersedia, dan dia mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam tidak akan bersedia menukar dakwahnya dengan pangkat dan harta sepenuh
dunia.
Abu Thalib meninggal
pada tahun itu pula, maka tahun itu disebut sebagai ‘Aamul Huzni (tahun
kesedihan) dalam kehidupan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. Sebaliknya,
orang-orang Quraisy sangat gembira atas kematian Abu Thalib itu, karena mereka
akan lebih leluasa mengintimidasi Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. dan
pengikutnya. Pada saat kritis menjelang kematian pamannya, Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam. membisikkan sesuatu, Secepat ini aku kehilangan
engkau?
Pada tahun yang sama,
Sayyidah Khadijah sakit keras akibat beberapa tahun menderita kelaparan dan
kehausan karena pemboikotan itu. Semakin hari, kondisi badannya semakin
menurun, sehingga Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. semakin sedih.
Bersama Khadijahlah Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. membangun kehidupan
rumah tangga yang bahagia. Dalam sakit yang tidak terlalu lama, dalam usia enam
puluh lima tahun, Khadijah meninggal, menyusul Abu Thalib. Khadijah dikuburkan
di dataran tinggi Mekah, yang dikenal dengan sebutan al-Hajun. Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam. sendiri yang mengurus jenazah istrinya, dan
kalimat terakhir yang beliau ucapkan ketika melepas kepergiannya adalah:
“Sebaik-baik wanita penghuni surga adalab Maryam binti Imran dan Khadijah binti
Khuwailid.”
Khadijah meninggal
setelah mendapatkan kemuliaan yang tidak pernah dimiliki oleh wanita lain, Dia
adalah Ummul Mukminin istri Rasulullah yang pertama, wanita pertama yang
mernpercayai risalah Rasulullah, dan wanita pertama yang melahirkan putra-putri
Rasulullah. Dia merelakan harta benda yang dimilikinya untuk kepentingan jihad
di jalan Allah. Dialah orang pertama yang mendapat kabar gembira bahwa dirinya
adalah ahli surga. Kenangan terhadap Khadijah senantiasa lekat dalam hati
Rasulullah sampai beliau wafat. Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai
Sayyidah Khadijah binti Khuwailid dan semoga Allah memberinya tempat yang layak
di sisi-Nya. Amin.
BAB
II
ISTRI
KEDUA
Saudah
binti Zam`ah (wafat 19 H)
Walaupun Saudah binti
Zam’ah tidak terlalu populer dibandingkan dengan istri Rasulullah lainnya, dia
tetap termasuk wanita yang memiliki martabat yang mulia dan kedudukan yang
tinggi di sisi Allah dan Rasul-Nya. Dia telah ikut berjihad di jalan Allah dan
termasuk wanita yang pertama kali hijrah ke Madinah. Perjalanan hidupnya penuh
dengan teladan yang baik, terutama bagi wanita-wanita sesudahnya. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam menikahinya bukan semata-mata karena harta dan
kecantikannya, karena memang dia tidak tergolong wanita cantik dan kaya. Yang
dilihat Rasulullah adalah semangat jihadnya di jalan Allah, kecerdasan otaknya,
perjalanan hidupnya yang senantiasa baik, keimanan, serta keikhlasannya kepada
Allah dan Rasul-Nya.
A. Dia
adalah Seorang Janda
Telah kita ketahui
bahwa pada tahun-tahun kesedihan karena ditinggal wafat oleh Abu Thalib dan
Khadijah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tengah mengalami masa sulit.
Kondisi seperti itu dimanfaatkan olah orang-orang Quraisy untuk menyiksa
Rasulullah dan kaum muslimin. Pada tahun-tahun ini, terasa cobaan dan kesedihan
datang sangat besar dan silih berganti.
Ketika itu,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berpikir untuk kembali ke Tsaqif atau
Thaif, dengan harapan agar orang-orang di Thaif memperoleh hidayah untuk masuk
Islam dan membantu beliau. Akan tetapi, masyarakat Tsaqif menolak mentah-mentah
kehadiran beliau, bahkan mereka memerintahkan anak-anak mereka melempari beliau
dengan batu, hingga kedua tumit beliau luka dan berdarah. Walaupun begitu,
beliau tetap sabar, bahkan tetap mendoakan mereka agar memperoleh hidayah.
Dalam keadaan
kesepian sesudah kematian Khadijah, terjadilah peristiwa Isra’ Mi’raj. Malaikat
Jibril membawa Rasulullah ke Baitul Maqdis dengan kendaraan Buraq, kemudian
menuju langit ke tujuh, dan di sana beliau menyaksikan tanda-tanda kebesaran
Allah. Ketika kembali ke Mekah, beliau menuju Ka’bah dan mengumpulkan
orang-orang untuk mendengarkan kisah perjalanan beliau yang sangat menakjubkan
itu. Kaum musyrikin yang mendengar kisah itu tidak memercayainya, bahkan
mengolok-olok beliau, Bertambahlah hambatan dan rintangan yang harus beliau
hadapi. Dalam kondisi seperti itu, tampillah Saudah binti Zam’ah yang ikut
berjuang dan senantiasa mendukung Rasulullah, kemudian dia menjadi istri
Rasulullah yang kedua setelah Khadijah.
Terdapat beberapa
kisah yang menyertai pernikahan Rasulullah dengan Saudah binti Zum’ah.
Tersebutlah Khaulah binti Hakim, salah seorang mujahid wanita yang pertama
masuk Islam. Khaulah adalah istri Ustman bin Madh’um. Dia yang dikenal sebagai
wanita yang berpendirian kuat, berani, dan cerdas, sehingga dia memiliki nilai
tersendiri bagi Rasulullah. Melalui kehalusan perasaan dan kelembutan
fitrahnya, Khaulah sangat memahami kondisi Rasulullah yang sangat membutuhkan
pendamping, yang nantinya akan menjaga dan mengawasi urusan beliau serta
mengasuh Ummu Kultsum dan Fathimah setelah Zainab dan Ruqayah menikah. Pada
mulanya, Utsman bin Madh’um kurang sepakat dengan pemikiran Khaulah, karena
khawatir hal itu akan menambah beban Rasulullah, namun dia tetap pada
pendiriannya.
Kemudian Khaulah
menemui Rasulullah dan bertanya langsung tentang orang yang akan mengurus rumah
tangga beliau. Dengan saksama, beliau mendengarkan seluruh pernyataan Khaulah
karena baru pertama kali ini ada orang yang memperhatikan masalah rumah
tangganya dalam kondisi beliau yang sangat sibuk dalam menyebarkan agama Allah.
Beliau melihat bahwa apa yang diungkapkan Khaulah mengandung kebenaran,
sehingga beliau pun bertanya, “Siapakah yang kau pilih untukku?” Dia menjawab,
“Jika engkau menginginkan seorang gadis, dia adalah Aisyah binti Abu Bakar, dan
jika yang engkau inginkan adalah seorang janda, dia adalah Saudah binti
Zam’ah.” Rasulullah mengingat nama Saudah binti Zam’ah, yang sejak keislamannya
begitu banyak memikul beban perjuangan menyebarkan Islam, sehingga pilihan
beliau jatuh pada Saudah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memilih janda
yang namanya hanya dikenal oleh beberapa orang. Pernikahan beliau dengannya
tidak didorong oleh keinginan untuk memenuhi nafsu duniawi, tetapi lebih karena
Rasulullah yakin bahwa Saudah dapat ikut serta menjaga keluarga dan rumah
tangga beliau setelah Khadijah wafat.
Jika kita rajin
menyimak beberapa catatan sejarah tentang kehidupan Rasulullah yang berkaitan
dengan Saudah binti Zam’ah, kita akan menemukan beberapa keterangan tentang
sosok Saudah. Saudah adalah seorang wanita yang tinggi besar, berbadan gemuk,
tidak cantik, juga tidak kaya. Dia adalah janda yang ditinggal mati suaminya.
Rasulullah memilihnya sebagai istri karena kadar keimanannya yang kokoh. Dia
termasuk wanita pertama yang masuk Islam dan sabar menanggung kesulitan hidup.
B. Nasab
dan Keislamannya
Saudah binti Zam’ah
yang bernama lengkap Saudah binti Zam’ah bin Abdi Syamsin bin Abdud dari Suku
Quraisy Amiriyah. Nasabnya ini bertemu dengan Rasulullah pada Luay bin Ghalib.
Di antara keluarganya, dia dikenal memiliki otak cemerlang dan berpandangan
luas. Pertama kali dia menikah dengan anak pamannya, Syukran bin Amr, dan
menjadi istri yang setia dan tulus. Ketika Rasulullah menyebarkan Islam dengan
terang-terangan, suaminya, Syukran, termasuk orang yang pertama kali menerima
hidayah Allah. Dia memeluk Islam bersama kelompok orang dari Bani Qais bin Abdu
Syamsin. Setelah berbai’at di hadapan Nabi, dia segera menemui istrinya,
Saudah, dan memberitakan tentang keislaman serta agama baru yang dianutnya.
Kecemerlangan pikiran dan hatinya menyebabkan Saudah cepat memahami ajaran
Islam untuk selanjutnya mengikuti suami menjadi seorang muslimah.
C. Hijrah
ke Habbasyah
Keislaman Syukran,
Saudah, dan beberapa orang yang mengikuti jejak mereka berakibat cemoohan,
penganiayaan, dan pengasingan dari keluarga terdekat mereka. Karena itu,
Syukran menemui Rasulullah beserta beberapa keluarganya yang sudah memeluk
Islam, seperti saudaranya (Saud dan Hatib), keponakannya (Abdullah bin Sahil
bin Amr), ditambah saudara kandung Saudah (Malik bin Zum’ah). Rasulullah
menasihati agar mereka tetap kokoh berpegang pada akidah dan menyarankan agar
mereka hijrah ke Habasyah, mengikuti saudara-saudara seiman yang telah terlebih
dahulu hijrah, seperti Utsman bin Affan dan istrinya, Ruqayah binti Muhammad.
Akhirnya, kaum muslimin memutuskan untuk hijrah. Di antara kaum muslimin yang
hijrah ke dua ke Habasyah, terdapat Saudah yang turut merasakan pedihnya
meninggalkan kampung halaman serta sulitnya menempuh perjalanan dan cuaca buruk
demi menegakkan agama yang diyakininya.
Di Habasyah mereka
disambut dan diperlakukan baik oleh Raja Habasyah walaupun keyakinan mereka
berbeda, sehingga beberapa hari lamanya mereka menjadi tamu raja. Akan tetapi,
rasa rindu mereka dan keinginan untuk melihat wajah Rasulullah mendera mereka.
Sambil menunggu waktu yang tepat untuk kembali ke Mekah, mereka mengisi waktu
dengan mengenang kehangatan berkumpul dengan Rasulullah dan saudara-saudara
seiman di Mekah. Ketika mendengar keislaman Umar bin Khaththab, mereka
menyambut dengan suka cita. Betapa tidak, Umar bin Khaththab adalah pemuka
Quraisy yang disegani. Karena itu, mereka memutuskan untuk kembali ke Mekah
dengan harapan Umar dapat menjamin keselamatan mereka dan gangguan kaum
Quraisy. Di antara mereka yang ikut kembali adalah Syukran bin Amr. Akan
tetapi, dalam perjalanan, Syukran jatuh sakit karena kelaparan sejak kakinya
menginjak tanah Habasyah. Akhirnya dia meninggal di tengah perjalanan menuju
Mekah.
Betapa sedih perasaan
Saudah binti Zum’ah ketika mendengar suaminya meninggal dunia. Baru saja dia
mengalami betapa sedihnya meninggalkan kampung halaman, sulitnya perjalanan ke
Habasyah, cemoohan, dan penganiayaan orang-orang Quraisy, sekarang dia harus
merasakan sedihnya ditinggal suami. Dia merasa kehilangan orang yang senantiasa
bersamanya dalam jihad di jalan Allah.
D. Rahmat
Allah Subhanahu wa Ta’ala
Saudah binti Zam’ah
menanggung semua derita itu dengan kepasrahan dan ketabahan, serta menyerahkan
semuanya kepada Allah dengan senantiasa mengharapkan keridhaan-Nya. Dia kembali
ke Mekah sebagai satu-satunya janda, dengan perkiraan bahwa keadaan kaum
muslimin di Mekah sudah membaik setelah beberapa pemuka Quraisy menyatakan
memeluk Islam. Akan tetapi, ternyata kezaliman orang-orang Quraisy tetap
merajalela. Dalam kondisi seperti itu, tidak ada pilihan lain baginya selain
kembali ke rumah ayahnya, Zam’ah bin Qais yang masih memeluk agama nenek
moyang. Akan tetapi, Zam’ah bin Qais tetap menerima dan menghormati putrinya.
Tidak sedikit pun dia berusaha membujuk agar putrinya meninggalkan Islam dan
kembali menganut kepercayaan nenek moyang.
Ketika Khaulah binti
Hakim berusaha mencarikan istri untuk Rasulullah, dia menyebut nama Saudah.
Dalam diri Saudah, Rasulullah tidak meihat kecantikannya, tetapi lebih melihat
bahwa Saudah adalah sosok wanita yang sabar, mujahidah yang hijrah bersama kaum
muslimin, dan mampu menjadi pemimpin di rumah ayahnya yang masih musyrik.
Karena itulah, Rasulullah tergerak menikahinya dan menjadikannya sebagai istri
yang akan meringankan beban hidupnya. Khaulah menemui Saudah dan menyampaikan
kabar gembira bahwa tidak semua wanita dianugerahi Allah menjadi istri
Rasulullah serta menjadi istri manusia yang paling mulia dan hamba pilihan-Nya.
Ketika bertemu dengan Saudah, Khaulah berteriak, “Apa gerangan yang telah
engkau perbuat sehingga Allah memberkahimu dengan nikmat yahg sebesar ini?
Rasulullah mengutusku
untuk meminang engkau baginya.” Sungguh, hal itu merupakan berita besar. Saudah
tidak pernah memimpikan kehormatan sebesar itu, terutama setelah orang-orang
mencampakkannya karena kematian suaminya. Rasulullah yang mulia benar-benar
akan menjadikannya sebagai istri. Dengan perasaan terharu dia menyetujui
permintaan itu dan meminta Khaulah menemui ayahnya. Setelah Zam’ah bin Qais
mengetahui siapa yang akan meminang putrinya, dan Saudah pun sudah setuju,
lamaran itu langsung diterimanya, kemudian meminta Rasulullah Muhammad datang
ke rumahnya. Rasulullah memenuhi undangan tersebut bersama Khaulah, dan
perkawinan itu terlaksana dengan baik.
E. Berada
di Rumah Rasulullah
Saudah mulai memasuki
rumah tangga Rasulullah, dan di dalamnya dia merasakan kehormatan yang sangat
besar sebagai wanita. Dia merawat Ummu Kultsum dan Fathimah seperti merawat
anaknya sendiri. Ummu Kultsum dan Fathimah pun menghargai dan memperlakukan
Saudah dengan baik.
Saudah memiliki
kelembutan dan kesabaran yang dapat menghibur hati Rasulullah, sekaligus
memberi semangat. Dia tidak terlalu berharap dirinya dapat sejajar dengan
Khadijah di hati Rasulullah. Dia cukup puas dengan posisinya sebagai istri
Rasulullah dan Ummul-Mukminin. Kelembutan dan kemanisan tutur katanya dapat
menggantikan wajahnya yang tidak begitu cantik, tubuhnya yang gemuk, dan
umurnya yang sudah tua. Apa pun yang dia lakukan semata-mata untuk
menghilangkan kesedihan Rasulullah. Sewaktu-waktu dia meriwayatkan
hadits-hadits beliau untuk menunjukkan suka citanya di hadapan Nabi.
Beberapa bulan
lamanya Saudah berada di tengah-tengah keluarga Rasulullah. Keakraban dan
keharmonisan mulai terjalin antara dirinya dan Rasulullah. Dia tidak pernah
melakukan apa pun yang dapat menyakitkan Rasulullah. Akan tetapi, pada
dasarnya, dia belum mampu mengisi kekosongan hati Rasulullah, walaupun dia
telah memperoleh limpahan kasih dari beliau, sehingga beberapa saat kemudian
turun wahyu Allah yang memerintahkan Rasulullah menikahi Aisyah binti Abu Bakar
yang masih sangat belia. Rasulullah menemui Abu Bakar dan menjelaskan makna
wahyu Allah kepadanya. Dengan kerelaan hati, Abu Bakar menerima putrinya
menikah dengan Rasulullah, dan disuruhnya Aisyah menemui beliau. Setelah
melihat Aisyah, beliau mengumumkan pinangan terhadap Aisyah.
Lantas, sikap apa
yang dilakukan Saudah ketika mengetahui pertunangan tersebut? Dia rela dan
tidak sedikit pun memiliki perasaan cemburu. Dia merelakan madunya berada di
tengah keluarga Rasulullah. Dia merasa cukup bangga menyandang gelar
Ummul-Mukminin, dapat menyayangi Rasulullah, dan dapat meyakini ajarannya,
sehingga dia tidak terpengaruh oleh kepentingan duniawi.
F. Hijrahnya
ke Madinah
Pertama kali
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah ke Madinah tanpa keluarga.
Setelah menetap di sebuah rumah, beliau mengutus seseorang membawa keluarganya,
termasuk Saudah binti Zam’ah. Bersama Ummu Kultsum dan Fathimah, Saudah menuju
Madinah, dan itu merupakan hijrahnya yang kedua setelah ke Habasyah. Bedanya,
sekarang ini dia hijrah menuju negeri muslim yang masyarakatnya sudah berbai’at
setia kepada Rasulullah.
Setelah masjid Nabawi
di Yatsrib selesai dibangun, dibangunlah rumah Rasulullah di samping masjid
tersebut. Di rumah itulah Saudah dan putri-putri Nabi tinggal, hingga Ummu Kultsum
dan Fathimah menyayangi Saudah seperti kepada ibu kandung sendiri. Setelah
masyarakat Islam di Yatsrib terbentuk dan sarana ibadah selesai dibangun, Abu
Bakar mengingatkan Rasulullah agar segera menikahi putrinya, “Bukankah engkau
hendak membangun keluargamu, ya Rasul?” Ketika itu kehidupan Rasulullah
tersibukkan oleh dakwah dan jihad di jalan Allah, sehingga kepentingan
pribadinya tidak sempat terpikirkan. Ketika Abu Bakar mengingatkannya, barulah
beliau sadar dan segera menikahi Aisyah. Kemudian beliau membangun kamar untuk
Aisyah yang bersebelahan dengan kamar Saudah.
G. Sikap
Hidupnya
Sejarah banyak
mencatat sikap Saudah terhadap Aisyah binti Abu Bakar. Wajahnya senantiasa
ceria dan tutur katanya selalu lembut, bahkan dia sering membantu menyelesaikan
urusan-urusan Aisyah, sehingga Aisyah sangat mencintai Saudah. Begitulah
kecintaannya kepada Rasulullah sangat melekat erat di dasar hati. Segala
sesuatunya dia niatkan untuk memperoleh kerelaan Rasulullah melalui pengabdian
yang tulus terhadap keluarga beliau, tanpa keluh kesah. Baginya, kenikmatan
yang paling besar di dunia ini adalah melihat Rasulullah senang dan tertawa.
Aisyah berkata, “Tidak ada wanita yang lebih aku cintai untuk berkumpul
bersamanya selain Saudah binti Zam’ah, karena dia memiliki keistimewaan yang
tidak dimiiki wanita lain.” Itu merupakan pengakuan Aisyah, wanita yang
pikirannya cerdas dan senantiasa jernih, yang selalu ingin bersama Saudah dalam
jihad, keyakinan, kesabaran, dan keteguhannya. Saudah merelakan malam-malam
gilirannya untuk Aisyah semata-mata untuk memperoleh keridhaan Rasulullah.
Aisyah mengisahkan, ketika usia Saudah semakin uzur dan Rasulullah ingin
menceraikannya, Saudah berkata, “Aku mohon jangan ceraikan diriku. Aku ingin
selalu berkumpul dengan istri-istrimu. Aku rela menyerahkan malam-malamku untuk
Aisyah. Aku sudah tidak menginginkan lagi apa pun yang biasa diinginkan kaum
wanita.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengurungkan niatnya.
Sebenarnya Rasulullah ingin menceraikan Saudah dengan baik-baik agar Saudah
tidak bermasalah dengan istri-istri beliau yang lainnya. Akan tetapi, Saudah
menginginkan Rasulullah tetap mengikatnya hingga akhir hayatnya agar dia dapat
berkumpul dengan istri-istri Rasulullah. Alasan itulah yang menyebabkan
Rasulullah tetap mempertahankan pernikahannya dengan Saudah.
Saudah mendampingi
Rasulullah dalam Perang Khaibar. Biasanya, sebelum berangkat berperang,
Rasulullah mengundi dahulu istri yang akan menyertai beliau. Dalam Perang
Khaibar, undian jatuh pada diri Saudah, dan kali ini Rasulullah disertai
pendamping yang sabar. Dalam perang ini banyak sekali kesulitan yang dialami
Saudah, karena banyak juga kaum muslimin yang syahid sebelum Allah memberikan
kemenangan kepada mereka. Dalam kemenangannya, kaum muslimin memperoleh banyak
rampasan perang yang belum pernah mereka alami pada peperangan lainnya. Saudah
pun mendapatkan bagian rampasan perang ini. Pada peperangan ini pula Rasulullah
menikahi Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab. Mendengar hal itu pun Saudah tetap
rela dan menerima kehadiran Shafiyyah karena hatinya bersih dari sifat iri dan
cemburu.
Saudah menunaikan
haji wada’ bersama istri-istri Rasul lainnya. Setelah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassalm. meninggal, Saudah tidak pernah lagi menunaikan ibadah haji
karena khawatir melanggar ketentuan beliau. Beberapa saat setelah haji wada’,
Shallallahu ‘alaihi wasallam sakit keras. Beliau meminta persetujuan
istri-istri beliau yang lain untuk tinggal di rumah Aisyah. Ketika Nabi sakit,
Saudah tidak pernah putus-putusnya menjenguk beliau dan membantu Aisyah sampai
beliau wafat. Setelah beliau wafat, dia memutuskan untuk beribadah dan
mendekatkan diri kepada Allah. Harta bagiannya dan BaitulMal sebagian besar dia
salurkan di jalan Allah dengan semata-mata mengharapkan keridhaan-Nya. Dia
tidak pemah meninggalkan kamarnya kecuali untuk kebutuhan yang mendesak. Pada
saat-saat seperti itu Abu Bakar selalu menjenguknya karena dia tahu bahwa
Saudah sangat mencintai putrinya.
Pada masa
kekhalifahan Umar bin Khaththab, Saudah tetap menyendiri untuk beribadah hingga
ajal menjemputnya. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa dia meninggal pada tahun
ke-19 Hijrah, sementara itu ada juga riwayat yang mengatakan bahwa dia
meninggal pada tahun ke-54 Hijrah. Yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat
pertama, karena pada masa Rasulullah pun Saudah sudah termasuk tua.
H. Sifat
dan Keutamaannya
Hal istimewa yang
dimiliki Saudah adalah kekuatannya dan keteguhannya dalam menanggung derita,
seperti pengusiran, penganiayian, dan bentuk kezaliman lainnya, baik yang
datangnya dari kaum Quraisy maupun dan keluarganya sendiri. Hal seperti itu
tidak mudah dia lakukan, karena perjalanan yang harus ditempuhnya itu sangat
sulit serta perasaan yang berat ketika harus meninggalkan keluarga dan kampung
halaman.
Sifat mulia yang juga
menonjol darinya adalah kesabaran dan keridhaannya menerima takdir Allah ketika
suaminya meninggal, harus kembali ke rumah orang tua yang masih musyrik, hingga
Rasulullah memilihnya menjadi istri. Selama berada di tengah-tengah Rasulullah,
keimanan dan ketakwaannya bertambah. Dia pun bertambah rajin beribadah.
Jelasnya, kadar keimanannya berada di atas manusia rata-rata. Di dalam hatinya
tidak pernah ada perasaan cemburu terhadap istri-istri Rasulullah lainnya.
Saudah pun dikenal
dengan kemurahan hatinya dan suka bersedekah. Pada sebagian riwayat dikatakan
bahwa Saudah paling gemar bersedekah di jalan Allah, baik ketika Rasulullah
masih hidup maupun pada masa berikutnya, yaitu pada masa kekhalifahan Abu Bakar
dan Umar.
Pembawaan yang ceria
dan menyenangkan dia curahkan untuk menghibur Rasulullah. Karakter seperti itu
merupakan teladan yang baik bagi setiap istri hingga saat ini. Semoga rahmat
Allah senantiasa menyertai Sayyidah Saudah binti Zam’ah dan semoga Allah
memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Tambahan
kisah lainnya:
Dia adalah wanita
pertama yang dinikahi oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sepeninggal
khadijah, kemudian menjadi istri satu-satunya bagi Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam sampai Rasulullah Shalllallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk
berumah tangga dengan Aisyah.
Sebelum menikah
dengan Rasulullloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Saudah telah menikah dengan
Sakran bin Amr Al-Amiry, mereka berdua masuk islam dan kemudian berhijrah ke
Habasyah bersama dengan rombongan shahabat yang lain.
Ketika Sakran dan
istrinya Saudah tiba di Habasyah maka Sakran jatuh sakit dan meninggal. Maka
jadilah Saudah menjanda. Kemudian datanglah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam meminang saudah dan diterima oleh saudah dan menikahlah Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan Saudah pada bulan Ramadhan.
Saudah adalah tipe
seorang istri yang menyenangkan suaminya dengan kesegaran candanya, sebagaimana
kisah yang diriwayatkan oleh Ibrahim an-Nakha’i bahwasannya saudah berkata
kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Wahai Rasulullah, tadi malam
aku shalat di belakangmu, ketika ruku’ punggungmu menyentuh hidungku dengan
keras, maka aku pegang hidungku karena aku takut keluar darah, Maka tertawalah
Rasulullah. Ibrahim berkata: Saudah biasa membuat Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam tertawa dengan candanya. (Thabaqoh Kubra 8/54).
Ketika Saudah sudah
tua Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berniat hendak mencerainya, maka
saudah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Wahai
Rasulullah janganlah engkau menceraikanku, bukanlah aku masih menghendaki
laki-laki, tetapi karena aku ingin dibangkitkan dalam keadaan menjadi istrimu,
maka tetapkanlah aku menjadi istrimu dan aku berikan hari giliranku kepada
Aisyah. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengabulkan permohonannya
dan tetap menjadikannya menjadi salah satu dari seorang istrinya sampai
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggal. Dalam hal ini turunlah ayat
Al-Qur’an, yang artinya: “Dan jika seorang wanita kuatir akan nusyuz atau sikap
tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik..” (QS.
An-Nisa’:128). (Sunan Tirmidzi 8/320 dengan sanad yang dihasankan Ibnu Hajar
dalam Al-Ishabah 7/720).
Aisyah berkata:
Saudah meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada waktu
malam Muzdalifah untuk berangkat ke Mina sebelum berdesak-desakkannya manusia,
adalah dia perempuan yang berat jika berjalan, sungguh kalau aku meminta izin
kepadanya sungguh lebih aku sukai daripada orang yang dilapangkan. (Thabaqah
Qubra 8/54).
Aisyah berkata: Aku
tidak pernah melihat seorang wanita yang paling aku ingin sekali menjadi dia
daripada Saudah binti Zam’ah, ketika dia tua dia berikan gilirannya dari
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Aisyah. ( Shahih Muslim
2/1085).
Di antara keutamaan
Saudah adalah ketaatan dan kesetiaannya yang sangat kepada Rasulullah. Ketika
haji wada’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada para
istri-istrinya: Ini adalah saat haji bagi kalian kemudian setelah ini hendaknya
kalian menahan diri di rumah-rumah kalian, maka sepeninggal Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa sallam, Saudah selalu di rumahnya dan tidak berangkat
haji lagi sampai dia meninggal. (Sunan Abu Dawud 2/140).
Aisyah berkata:
Sesudah turun ayat tentang hijab, keluarlah saudah di waktu malam untuk
menunaikan hajatnya, dia adalah wanita yang perawakannya tinggi besar sehingga
mudah sekali dibedakan dari wanita lainnya pada saat itu. Saat itu umar
melihatnya dan berkata :wahai saudah demi Allah kami tetap bisa mengenalimu,
maka lihatlah bagaimana engkau keluar, maka Saudah segera kembali dan menuju
kepada Rasulullah yang pada waktu itu di rumah Aisyah, ketika itu Rasulullah
sedang makan malam, di tangannya ada sepotong daging, maka masuklah Saudah
seraya berkata kepadanya: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku keluar untuk
sebagai keperluanku dalam keadaan berhijab tetapi Umar mengatakan ini dan itu,
maka saat itu turunlah wahyu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
dan kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya telah diizinkan bagi kalian para
wanita untuk keluar menunaikan hajatmu.. (Shahih Bukhari dan Muslim).
Saudah terkenal juga
dengan kezuhudannya, ketika umar mengirin kepadanya satu wadah berisi dirham,
ketika sampai kepadanya maka dibagi-bagikannya (Thabaqah kubra 8/56 dan
dishahihkan sanadnya oleh Ibnu Hajar dalam al-Ishobah 7/721).
Saudah termasuk
deretan istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menjaga dan
menyamapaikan sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh para imam yang terkemuka seperti Imam Ahmad,
Imam Bukhari, Abu Dawud dan Nasa’i.
Saudah meninggal di
akhir kekhalifahan Umar di Madinah pada tahun 54 Hijriyah. Sebelum dia
meninggal dia mewariskan rumahnya kepada Aisyah. Semoga Allah meridhainya dan
membalasnya dengan kebaikan yang melimpah.
BAB
III
ISTRI
KETIGA
BAB
IV
ISTRI
KEEMPAT
Hafshah
binti Umar (wafat usia 47 th )
Hafshah binti Umar
bin Khaththab adalah putri seorang laki-laki yang terbaik dan mengetahui
hak-hak Allah dan kaum muslimin. Umar bin Khaththab adalah seorang penguasa
yang adil dan memiliki hati yang sangat khusyuk. Pernikahan Rasulullah dengan
Hafshah merupakan bukti cinta kasih beliau kepada mukminah yang telah menjanda
setelah ditinggalkan suaminya, Khunais bin Hudzafah as-Sahami, yang berjihad di
jalan Allah, pernah berhijrah ke Habasyah, kemudian ke Madinah, dan gugur dalam
Perang Badar. Setelah suami anaknya meninggal, dengan perasaan sedih, Umar
menghadap Rasulullah untuk mengabarkan nasib anaknya yang menjanda. Ketika itu
Hafshah berusia delapan belas tahun. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah
memberinya kabar gembira dengan mengatakan bahwa beliau bersedia menikahi
Hafshah.
Jika kita menyebut
nama Hafshah, ingatan kita akan tertuju pada jasa-jasanya yang besar terhadap
kaum muslimin saat itu. Dialah istri Nabi yang pertama kali menyimpan Al-Qur’an
dalam bentuk tulisan pada kulit, tulang, dan pelepah kurma, hingga kemudian
menjadi sebuah kitab yang sangat agung.
A. Nasab
dan Masa Petumbuhannya
Nama lengkap Hafshah
adalah Hafshah binti Umar bin Khaththab bin Naf’al bin Abdul-Uzza bin Riyah bin
Abdullah bin Qurt bin Rajah bin Adi bin Luay dari suku Arab Adawiyah. Ibunya
adalah Zainab binti Madh’un bin Hubaib bin Wahab bin Hudzafah, saudara
perempuan Utsman bin Madh’un. Hafshah dilahirkan pada tahun yang sangat
terkenal dalam sejarah orang Quraisy, yaitu ketika Rasullullah memindahkan
Hajar Aswad ke tempatnya semula setelah Ka’bah dibangun kembali setelah roboh
karena banjir. Pada tahun itu juga dilahirkan Fathimah az-Zahra, putri bungsu
Rasulullah dari empat putri, dan kelahirannya disambut gembira oleh beliau. Beberapa
hari setelah Fathimah lahir, lahirlah Hafshah binti Umar bin Khaththab.
Mendengar bahwa yang lahir adalah bayi wanita, Umar sangat berang dan resah,
sebagaimana kebiasaan bapak-bapak Arab Quraisy ketika mendengar berita
kelahiran anak perempuannya. Waktu itu mereka menganggap bahwa kelahiran anak
perempuan telah membawa aib bagi keluarga. Padahal jika saja ketika itu Umar
tahu bahwa kelahiran anak perempuannya akan membawa keberuntungan, tentu Umar
akan menjadi orang yang paling bahagia, karena anak yang dinamai Hafshah itu
kelak menjadi istri Rasulullah. Di dalam Thabaqat, Ibnu Saad berkata, “Muhammad
bin Umar berkata bahwa Muhammad bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dari
kakeknya, Umar mengatakan, ‘Hafshah dilahirkan pada saat orang Quraisy
membangun Ka’bah, lima tahun sebelum Nabi diutus menjadi Rasul.”
Sayyidah Hafshah
Radhiyallahu ‘anha dibesarkan dengan mewarisi sifat ayahnya, Umar bin
Khaththab. Dalam soal keberanian, dia berbeda dengan wanita lain,
kepribadiannya kuat dan ucapannya tegas. Aisyah melukiskan bahwa sifat Hafshah
sama dengan ayahnya. Kelebihan lain yang dimiliki Hafshah adalah kepandaiannya
dalam membaca dan menulis, padahal ketika itu kemampuan tersebut belum lazim
dimiliki oleh kaum perempuan.
B. Memeluk
Islam
Hafshah tidak
termasuk ke dalam golongan orang yang pertama masuk Islam, karena ketika
awal-awal penyebaran Islam, ayahnya, Umar bin Khaththab, masih menjadi musuh
utama umat Islam hingga suatu hari Umar tertarik untuk masuk Islam. Ketika
suatu waktu Umar mengetahui keislaman saudara perempuannya, Fathimah dan
suaminya Said bin Zaid, dia sangat marah dan berniat menyiksa mereka.
Sesampainya di rumah saudara perempuannya, Umar mendengar bacaan Al-Qur’an yang
mengalun dari dalam rumah, dan memuncaklah amarahnya ketika dia memasuki rumah
tersebut. Tanpa ampun dia menampar mereka hingga darah mengucur dari kening
keduanya. Akan tetapi, hal yang tidak terduga terjadi, hati Umar tersentuh
ketika meihat darah mengucur dari dahi adiknya, kemudian diambilnyalah Al
Qur’an yang ada pada mereka. Ketika selintas dia membaca awal surat Thaha,
terjadilah keajaiban. Hati Umar mulai diterangi cahaya kebenaran dan keimanan.
Allah telah mengabulkan doa Nabi yang mengharapkan agar Allah membuka hati
salah seorang dari dua Umar kepada Islam. Yang dimaksud Rasulullah dengan dua
Umar adalah Amr bin Hisyam atau lebih dikenal dengan Abu Jahl dan Umar bin
Khaththab.
Setelah kejadian itu,
dari rumah adiknya dia segera menuju Rasulullah dan menyatakan keislaman di
hadapan beliau, Umar bin Khaththab bagaikan bintang yang mulai menerangi dunia
Islam serta mulai mengibarkan bendera jihad dan dakwah hingga beberapa tahun
setelah Rasulullah wafat. Setelah menyatakan keislaman, Umar bin Khaththab
segera menemui sanak keluarganya untuk mengajak mereka memeluk Islam. Seluruh
anggota keluarga menerima ajakan Umar, termasuk di dalamnya Hafshah yang ketika
itu baru berusia sepuluh tahun.
C. Menikah
dan Hijrah ke Madinah
Keislaman Umar
membawa keberuntungan yang sangat besar bagi kaum muslimin dalam menghadapi
kekejaman kaum Quraisy. Kabar keislaman Umar ini memotivasi para muhajirin yang
berada di Habasyah untuk kembali ke tanah asal mereka setelah sekian lama
ditinggalkan. Di antara mereka yang kembali itu terdapat seorang pemuda bernama
Khunais bin Hudzafah as-Sahami. Pemuda itu sangat mencintai Rasulullah
sebagaimana dia pun mencintai keluarga dan kampung halamannya. Dia hijrah ke
Habasyah untuk menyelamatkan diri dan agamanya. Setibanya di Mekah, dia segera
mengunjungi Umar bin Khaththab, dan di sana dia melihat Hafshah. Dia meminta
Umar untuk menikahkan dirinya dengan Hafshah, dan Umar pun merestuinya.
Pernikahan antara mujahid dan mukminah mulia pun berlangsung. Rumah tangga
mereka sangat berbahagia karena dilandasi keimanan dan ketakwaan.
Ketika Allah
menerangi penduduk Yatsrib sehingga memeluk Islam, Rasulullah menemukan
sandaran baru yang dapat membantu kaum muslimin. Karena itulah beliau
mengizinkan kaum muslimin hijrah ke Yatsrib untuk menjaga akidah mereka
sekaligus menjaga mereka dari penyiksaan dan kezaliman kaum Quraisy. Dalam
hijrah ini, Hafshah dan suaminya ikut serta ke Yatsrib.
D. Cobaan
dan Ganjaran
Setelah kaum muslimin
berada di Madinah dan Rasulullah berhasil menyatukan mereka dalam satu barisan
yang kuat, tiba saatnya bagi mereka untuk menghadapi orang musyrik yang telah
memusuhi dan mengambil hak mereka. Selain itu, perintah Allah untuk berperang
menghadapi orang musyrik sudah tiba.
Peperangan pertama
antara umat Islam dan kaum musyrik Quraisy adalah Perang Badar. Dalam
peperangan ini, Allah telah menunjukkan kemenangan bagi hamba- hamba-Nya yang
ikhlas sekalipun jumlah mereka masih sedikit. Khunais termasuk salah seorang
anggota pasukan muslimin, dan dia mengalami luka yang cukup parah sekembalinya
dari peperangan tersebut. Hafshah senantiasa berada di sisinya dan mengobati
luka yang dideritanya, namun Allah berkehendak memanggil Khunais sebagai syahid
dalam peperangan pertama melawan kebatilan dan kezaliman, sehingga Hafshah
menjadi janda. Ketika itu usia Hafshah baru delapan belas tahun, namun Hafshah
telah memiliki kesabaran atas cobaan yang menimpanya.
Umar sangat sedih
karena anaknya telah menjadi janda pada usia yang sangat muda, sehingga dalam
hatinya terbetik niat untuk menikahkan Hafshah dengan seorang muslim yang saleh
agar hatinya kembali tenang. Untuk itu dia pergi ke rumah Abu Bakar dan
merninta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, Abu Bakar diam,
tidak menjawab sedikit pun. Kemudian Umar menemui Utsman bin Affan dan meminta
kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, pada saat itu Utsman masih
berada dalam kesedihan karena istrinya, Ruqayah binti Muhammad, baru meninggal.
Utsman pun menolak permintaan Umar. Menghadapi sikap dua sahabatnya, Umar
sangat kecewa, dan dia bertambah sedih karena memikirkan nasib putrinya.
Kemudian dia menemui Rasulullah dengan maksud mengadukan sikap kedua
sahabatnya. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah bersabda, “Hafshah akan
menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Utsman dan Abu Bakar. Utsman
pun akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Hafshah.” Semula
Umar tidak memahami maksud ucapan Rasulullah, tetapi karena kecerdasan akalnya,
dia kemudian memahami bahwa Rasulullah yang akan meminang putrinya.
Umar merasa sangat
terhormat mendengar niat Rasulullah untuk menikahi putrinya, dan kegembiraan
tampak pada wajahnya. Umar langsung menemui Abu Bakar untuk mengutarakan maksud
Rasulullah Abu Bakar berkata, “Aku tidak bermaksud menolakmu dengan ucapanku
tadi, karena aku tahu bahwa Rasulullah telah menyebut-nyebut nama Hafshah, namun
aku tidak mungkin membuka rahasia beliau kepadamu. Seandainya Rasulullah
membiarkannya, tentu akulah yang akan menikahi Hafshah.” Umar baru memahami
mengapa Abu Bakar menolak menikahi putrinya. Sedangkan sikap Utsman hanya
karena sedih atas meninggalnya Ruqayah dan dia bermaksud menyunting saudaranya,
Ummu Kultsum, sehingga nasabnya dapat terus bersambung dengan Rasulullah.
Setelah Utsman menikah dengan Ummu Kultsum, dia dijuluki dzunnuraini (pemilik
dua cahaya). Pernikahan Rasulullah dengan Hafshah lebih dianggap sebagai
penghargaan beliau terhadap Umar, di samping juga karena Hafshah adalah seorang
janda seorang mujahid dan muhajir, Khunais bin Hudzafah as-Sahami.
E. Berada
di Rumah Rasulullah
Di rumah Rasulullah,
Hafshah menempati kamar khusus, sama dengan Saudah binti Zam’ah dan Aisyah
binti Abu Bakar. Secara manusiawi, Aisyah sangat mencemburui Hafshah karena
mereka sebaya, lain halnya Saudah binti Zum’ah yang menganggap Hafshah sebagai
wanita mulia putri Umar bin Khaththab, sahabat Rasulullah yang terhormat.
Umar memahami
bagaimana tingginya kedudukan Aisyah di hati Rasulullah. Dia pun mengetahui
bahwa orang yang menyebabkan kemarahan Aisyah sama halnya dengan menyebabkan
kemarahan Rasulullah, dan yang ridha terhadap Aisyah berarti ridha terhadap
Rasulullah. Karena itu Umar berpesan kepada putrinya agar berusaha dekat dengan
Aisyah dan mencintainya. Selain itu, Umar meminta agar Hafshah menjaga
tindak-tanduknya sehingga di antara mereka berdua tidak terjadi perselisihan.
Akan tetapi, memang sangat manusiawi jika di antara mereka masih saja terjadi
kesalahpahaman yang bersumber dari rasa cemburu. Dengan lapang dada Rasulullah
mendamaikan mereka tanpa menimbulkan kesedihan di antara istri – istrinya.
Salah satu contoh adalah kejadian ketika Hafshah melihat Mariyah al-Qibtiyah
datang rnenemui Nabi dalam suatu urusan. Mariyah berada jauh dari masjid, dan
Rasulullah menyuruhnya masuk ke dalam rumah Hafshah yang ketika itu sedang
pergi ke rumah ayahnya, dia melihat tabir kamar tidurnya tertutup, sementara
Rasulullah dan Mariyah berada di dalamnya. Melihat kejadian itu, amarah Hafshah
meledak. Hafshah menangis penuh amarah. Rasulullah berusaha membujuk dan
meredakan amarah Hafshah, bahkan beliau bersumpah mengharamkan Mariyah baginya
kalau Mariyah tidak meminta maaf pada Hafshah, dan Nabi meminta agar Hafshah
merahasiakan kejadian tersebut.
Merupakan hal yang
wajar jika istri-istri Rasulullah merasa cemburu terhadap Mariyah, karena
dialah satu-satunya wanita yang melahirkan putra Rasulullah setelah Siti
Khadijah Radhiyallahu ‘anha. Kejadian itu segera menyebar, padahal Rasulullah
telah memerintahkan untuk menutupi rahasia tersebut. Berita itu akhirnya
diketahui oleh Rasulullah sehingga beliau sangat marah. Sebagian riwayat
mengatakan bahwa setelah kejadian tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam menceraikan Hafshah, namun beberapa saat kemudian beliau merujuknya
kembali karena melihat ayah Hafshah, Umar, sangat resah. Sementara riwayat lain
menyebutkan bahwa Rasulullah bermaksud menceraikan Hafshah, tetapi Jibril
mendatangi beliau dengan maksud memerintahkan beliau untuk mempertahankan
Hafshah sebagai istrinya karena dia adalah wanita yang berpendirian teguh.
Rasulullah pun mempertahankan Hafshah sebagai istrinya, terlebih karena
tersebut Hafshah sangat menyesali perbuatannya dengan membuka rahasia dan
memurkakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Umar bin Khaththab
mengingatkan putrinya agar tidak lagi membangkitkan amarah Rasulullah dan
senantiasa menaati serta mencari keridhaan beliau. Umar bin Khaththab
meletakkan keridhaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada tempat
terpenting yang harus dilakukan oleh Hafshah. Pada dasarnya, Rasulullah
menikahi Hafshah karena memandang keberadaan Umar dan merasa kasihan terhadap
Hafshah yang ditinggalkan suaminya. Allah menurunkan ayat berikut ini sebagai
antisipasi atas isu-isu yang tersebar.
“Hai Nabi, mengapa
kamu mengharamkan apa yang telah Allah menghalalkannya bagimu,- kamu mencari
kesenangan hati istri -istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dan
sumpahmu; dan Allah adalah pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana. Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah
seorang dan istri-istrinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafshah)
menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu
(semua pembicaraan antara Hafshah dengan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad
memberitahukan sebagian (yang diberiitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan
sebagian yang lain (kepada Hafshah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan
pembicaraan (antara Hafshah dan Aisyah) lalu Hafshah bertanya, ‘Siapakah yang
telah memberitahukan hal ini kepadamu?’ Nabi menjawab, ‘Telah diberitahukan
kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Jika kamu berdua
bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk
menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu membantu menyusahkan Nabi, maka
sesungguhnya Allah adalah pelindungnya (begitu pula) Jibril dan orang-orang
mukmin yang haik; dan selain dan itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.
Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya
dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman,
yang taat, yang bertobat, yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang janda,
dan yang perawan.” (Qs. At-Tahrim:1-5)
F. Cobaan
Besar
Hafshah senantiasa
bertanya kepada Rasulullah dalam berbagai masalah, dan hal itu menyebabkan
marahnya Umar kepada Hafshah, sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
senantiasa memperlakukan Hafshah dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang.
Beliau bersabda, “Berwasiatlah engkau kepada kaum wanita dengan baik.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah marah besar kepada
istri-istrinya ketika mereka meminta tambahan nafkah sehingga secepatnya Umar
mendatangi rumah Rasulullah. Umar melihat istri-istri Rasulullah murung dan
sedih, sepertinya telah terjadi perselisihan antara mereka dengan Rasulullah.
Secara khusus Umar memanggil putrinya, Hafshah, dan mengingatkannya untuk
menjauhi perilaku yang dapat membangkitkan amarah beliau dan menyadari bahwa
beliau tidak memiliki banyak harta untuk diberikan kepada mereka. Karena
marahnya, Rasulullah bersumpah untuk tidak berkumpul dengan istri-istri beliau
selama sebulan hingga mereka menyadari kesalahannya, atau menceraikan mereka
jika mereka tidak menyadari kesalahan. Kaitannya dengan hal ini, Allah
berfirman,
“Hai Nabi, katakanlah
kepada istri-istrimu, jika kalian menghendaki kehidupan dunia dan segala
perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memenuhi keinginanmu itu dan aku akan
menceraikanmu secara baik-baik. Dan jika kalian menginginkan (keridhaan) Allah
dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di kampung akhirat, sesungguhnya Allah akan
menyediakan bagi hamba-hamba yang baik di antara kalian pahala yang besar. “
(QS. Al-Ahzab)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam menjauhi istri-istrinya selama sebulan di dalam
sebuah kamar yang disebut khazanah, dan seorang budak bernama Rabah duduk di
depan pintu kamar.
Setelah kejadian itu
tersebarlah kabar yang meresahkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
telah menceraikan istri-istri beliau. Yang paling merasakan keresahan adalah
Umar bin Khaththab, sehingga dia segera menemui putrinya yang sedang menangis.
Umar berkata, “Sepertinya Rasulullah telah menceraikanmu.” Dengan terisak
Hafshah menjawab, “Aku tidak tahu.” Umar berkata, “Beliau telah menceraikanmu
sekali dan merujukmu lagi karena aku. Jika beliau menceraikanmu sekali lagi,
aku tidak akan berbicara dengan mu selama-lamanya.” Hafshah menangis dan
menyesali kelalaiannya terhadap suami dan ayahnya. Setelah beberapa hari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyendiri, belum ada seorang pun yang
dapat memastikan apakah beliau menceraikan istri-istri beliau atau tidak.
Karena tidak sabar, Umar mendatangi khazanah untuk menemui Rasulullah yang
sedang menyendiri. Sekarang ini Umar menemui Rasulullah bukan karena anaknya,
melainkan karena cintanya kepada beliau dan merasa sangat sedih melihat keadaan
beliau, di samping memang ingin memastikan isu yang tersebar. Dia merasa
putrinyalah yang menjadi penyebab kesedihan beliau. Umar pun meminta penjelasan
dari beliau walaupun di sisi lain dia sangat yakin bahwa beliau tidak akan
menceraikan istri – istri beliau. Dan memang benar, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam tidak akan menceraikan istri-istri beliau sehingga Umar
meminta izin untuk mengumumkan kabar gembira itu kepada kaum muslimin. Umar pergi
ke masjid dan mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak
menceraikan istri-istri beliau. Kaum muslimin menyambut gembira kabar tersebut,
dan tentu yang lebih gembira lagi adalah istri-istri beliau.
Setelah genap sebulan
Rasulullah menjauhi istri-istrinya, beliau kembali kepada mereka. Beliau
melihat penyesalan tergambar dari wajah mereka. Mereka kembali kepada Allah dan
Rasul-Nya. Untuk lebih meyakinkan lagi, beliau mengumumkan penyesalan mereka
kepada kaum muslimin. Hafshah dapat dikatakan sebagai istri Rasul yang paling
menyesal sehingga dia mendekatkan diri kepada Allah dengan sepenuh hati dan
menjadikannya sebagai tebusan bagi Rasulullah. Hafshah memperbanyak ibadah,
terutama puasa dan shalat malam. Kebiasaan itu berlanjut hingga setelah
Rasulullah wafat. Bahkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, dia
mengikuti perkembangan penaklukan-penaklukan besar, baik di bagian timur maupun
barat.
Hafshah merasa sangat
kehilangan ketika ayahnya meninggal di tangan Abu Lu’luah. Dia hidup hingga
masa kekhalifahan Utsman, yang ketika itu terjadi fitnah besar antar muslimin
yang menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman hingga masa pembai’atan Ali
bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ketika itu, Hafshah berada pada kubu Aisyah
sebagaimana yang diungkapkannya, “Pendapatku adalah sebagaimana pendapat
Aisyah.” Akan tetapi, dia tidak termasuk ke dalam golongan orang yang
menyatakan diri berba’iat kepada Ali bin Abi Thalib karena saudaranya, Abdullah
bin Umar, memintanya agar berdiam di rumah dan tidak keluar untuk menyatakan
ba’iat.
Tentang wafatnya
Hafshah, sebagian riwayat mengatakan bahwa Sayyidah Hafshah wafat pada tahun ke
empat puluh tujuh pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Dia
dikuburkan di Baqi’, bersebelahan dengan kuburan istri-istri Nabi yang lain.
G. Pemilik
Mushaf yang Pertama
Karya besar Hafshah
bagi Islam adalah terkumpulnya Al-Qur’an di tangannya setelah mengalami
penghapusan karena dialah satu-satunya istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
yang pandai membaca dan menulis. Pada masa Rasul, Al-Qur’an terjaga di dalam
dada dan dihafal oleh para sahabat untuk kemudian dituliskan pada pelepah kurma
atau lembaran-lembaran yang tidak terkumpul dalam satu kitab khusus.
Pada masa khalifah
Abu Bakar, para penghafal Al-Qur’an banyak yang gugur dalam peperangan Riddah
(peperangan melawan kaum murtad). Kondisi seperti itu mendorong Umar bin
Khaththab untuk mendesak Abu Bakar agar mengumpulkan Al-Qur’an yang tercecer.
Awalnya Abu Bakar merasa khawatir kalau mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu kitab
itu merupakan sesuatu yang mengada-ada karena pada zaman Rasul hal itu tidak
pernah dilakukan. Akan tetapi, atas desakan Umar, Abu bakar akhirnya memerintah
Hafshah untuk mengumpulkan Al-Qur’an, sekaligus menyimpan dan memeliharanya.
Mushaf asli Al-Qur’an itu berada di rumah Hafshah hingga dia meninggal.
Semoga rahmat Allah
senantiasa menyertai Hafshah Radhiyallahu ‘anha dan semoga Allah memberinya
tempat yang layak di sisi-Nya. Amin
BAB
V
ISTRI
KELIMA
Zainab
binti Khuzayma (wafat 1H)
Dapat dikatakan bahwa
pengetahuan kita tentang Zainab binti Khuzaimah r.a. sangatlah terbatas karena
dia telah wafat ketika Rasulullah saw. masih hidup.
Zainab binti
Khuzaimah adalah istri Rasulullah yang dikenal dengan kebaikan, kedermawanan,
dan sifat santunnya terhadap orang miskin. Dia adalah istri Rasul kedua yang
wafat setelah Khadijah r.a.. Untuk memuliakan dan mengagungkannya, Rasulullah
mengurus mayat Zainab dengan tangan beliau sendiri.
A.
Nasab dan Masa Pertumbuhannya
Nama lengkap Zainab
adalah Zainab binti Khuzaimah bin Haris bin Abdillah bin Amru bin Abdi Manaf
bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah al-Hilaliyah. Ibunya bemama Hindun binti Auf
bin Harits bin Hamathah.
Berdasarkan asal-usul
keturunannya, dia termasuk keluarga yang dihormati dan disegani. Tanggal
lahirnya tidak diketahui dengan pasti, namun ada riwayat yang rnenyebutkan
bahwa dia lahir sebelum tahun ketiga belas kenabian. Sebelum memeluk Islam dia
sudah dikenal dengan gelar Ummul Masakin (ibu orang-orang miskin) sebagaimana
telah dijelaskan dalam kitab Thabaqat ibnu Saad bahwa Zainab binti Khuzaimali
bin Haris bin Abdillah bin Amru bin Abdi Manaf bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah
al-Hilaliyah adalah Ummul-Masakin. Gclar tersebut disandangnya sejak masa
jahiliah. Ath-Thabary, dalam kitab As-Samthus-Samin fi Manaqibi Ummahatil
Mu’minin pun di terangkan bahwa Rasulullah saw. menikahinya sebelum beliau
menikah dengan Maimunah r.a., dan ketika itu dia sudah dikenal dengan sebutan
Ummul-Masakin sejak zaman jahiliah. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa
Zainab binti Khuzaimah terkenal dengan sifat kemurah-hatiannya,
kedermawanannya, dan sifat santunnya terhadap orang-orang miskin yang dia
utamakan daripada kepada dirinya sendiri. Sifat tersebut sudah tertanarn dalam
dirinya sejak memeluk Islam walaupun pada saat itu dia belum mengetahui bahwa
orang-orang yang baik, penyantun, dan penderma akan memperoleh pahala di sisi
Allah.
B.
Keislaman dan Pernikahannya
Zainab binti
Khuzaimah r.a. termasuk kelompok orang yang pertama-tama masuk Islam dari
kalangan wanita. Yang mendorongnya masuk Islam adalah akal dan pikirannya yang
baik, menolak syirik dan penyembahan berhala dan selalu menjauhkan diri dari
perbuatan jahiliah.
Para perawi berbeda
pendapat tentang nama-nama suami pertama dan kedua sebelum dia menikah dengan
Rasulullah. Sebagian perawi mengatakan bahwa suami pertama Zainab adalah
Thufail bin Harits bin Abdil-Muththalib, yang kemudian menceraikannya. Dia
menikah lagi dengan Ubaidah bin Harits, namun dia terbunuh pada Perang Badar
atau Perang Uhud. Sebagian perawi mengatakan bahwa suami keduanya adalah
Abdullah bin Jahsy. Sebenarnya masih banyak perawi yang mengemukakan pendapat
yang berbeda-beda. Akan tetapi, dari berbagai pendapat itu, pendapat yang
paling kuat adalah riwayat yang mengatakan bahwa suami pertamanya adalah
Thufail bin Harits bin Abdil-Muththalib. Karena Zainab tidak dapat melahirkan
(mandul), Thufail menceraikannya ketika mereka hijrah ke Madinah. Untuk
mernuliakan Zainab, Ubaidah bin Harits (saudara laki-laki Thufail) menikahi Zainab.
Sebagaimana kita ketahui, Ubaidah bin Harits adalah salah seorang prajurit
penunggang kuda yang paling perkasa setelah Hamzah bin Abdul-Muththalib dan Ali
bin Abi Thalib. Mereka bertiga ikut melawan orang-orang Quraisy dalam Perang
Badar, dan akhirnya Ubaidah mati syahid dalam perang tersebut.
Setelah Ubaidah
wafat, tidak ada riwayat yang menjelaskan tentang kehidupannya hingga
Rasulullah saw. menikahinya. Rasulullah menikahi Zainab karena beliau ingin
melindungi dan meringankan beban kehidupan yang dialaminya. Hati beliau menjadi
luluh melihat Zainab hidup menjanda, sementara sejak kecil dia sudah dikenal
dengan kelemah- lembutannya terhadap orang-orang miskin. Scbagai Rasul yang
membawa rahmat bagi alam semesta, beliau rela mendahulukan kepentingan kaum
muslimin, termasuk kepentingan Zainab. Beiau senantiasa memohon kepada Allah
agar hidup miskin dan mati dalam keadaan miskin dan dikumpulkan di Padang
Mahsyar bersama orangorang miskin.
Meskipun Nabi saw.
mengingkari beberapa nama atau julukan yang dikenal pada zaman jahiliah, tetapi
beiau tidak mengingkari julukan “ummul-masakin” yang disandang oleh Zainab
binti Khuzaimah.
Selain dikenal
sebagai wanita yang welas asih, Zainab juga dikenal sebagai isteri Rasulullah
saw. yang senang meringankan beban saudara-saudaranya. Sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Atha bin Yasir yang mengisahkan, bahwa Zainab mempunyai
seorang budak hitam dari Habasyah. Ia sangat menyayangi budak itu, hingga budak
dari Habasyah itu tidak diperlakukan layaknya seorang budak, Zainab malah
memperlakukan layaknya seorang kerabat dekat. Dalam salah satu haditsnya,
Rasulullah saw. pernah menyatakan pujian kepada Ummul Mukminin Zainab binti
Khuzaimah r.a. dengan sabdanya, Ia benar-benar menjadi ibunda bagi orang-orang
miskin, karena selalu memberikan makan dan bersedekah kepada mereka.
C.
Menjadi Ummul-Mukminin
Tidak diketahui
dengan pasti masuknya Zainab binti Khuzaimah ke dalam rumah tangga Nabi saw.,
apakah sebelum Perang Uhud atau sesudahnya. Yang jelas, Rasulullah saw.
menikahinya karena kasih sayang terhadap umamya walaupun wajah Zainab tidak
begitu cantik dan tidak seorang pun dari kalangan sahabat yang bersedia
menikahinya. Tentang lamanya Zainab berada dalam kehidupan rumah tangga
Rasulullah pun banyak tendapat perbedaan. Salah satu pendapat mengatakan bahwa
Zainab memasuki rumah tangga Rasulullah selama tiga bulan, dan pendapat lain
delapan bulan. Akan tetapi, yang pasti, prosesnya sangat singkat kanena Zainab
meninggal semasa Rasulullah hidup. Di dalam kitab sirah pun tidak dijelaskan
penyebab kematiannya. Zainab meninggal pada usia relatif muda, kurang dari tiga
puluh tahun, dan Rasulullah yang menyalatinya. Allahu A’lam.
Semoga rahmat Allah
senantiasa menyertai Sayyidah Zainab binti Khuzaimah r.a. dan semoga Allah
memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
BAB
VI
ISTRI
KE ENAM
Ummu
Salamah ( wafat 59 thn )
Ummu Salamah adalah
seorang Ummul-Mukminin yang berkepribadian kuat, cantik, dan menawan, serta
memiliki semangat jihad dan kesabaran dalam menghadapi cobaan, lebih-lebih
setelah berpisah dengan suami dan anak-anaknya. Berkat kematangan berpikir dan
ketepatan dalam mengambil keputusan, dia mendapatkan kedudukan mulia di sisi
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Di dalam sirah Ummahatul Mukminin
dijelaskan tentang banyaknya sikap mulia dan peristiwa penting darinya yang
dapat diteladani kaum muslimin, baik sikapnya sebagai istri yang selalu menjaga
kehormatan keluarga maupun sebagai pejuang di jalan Allah.
A. Nama
dan Nasabnya
Nama sebenarnya Ummu
Salamah adalah Hindun binti Suhail, dikenal dengan nama Ummu Salamah. Beliau
dibesarkan di lingkungan bangsawan dari Suku Quraisy. Ayahnya bernama Suhail
bin Mughirah bin Makhzum. Di kalangan kaumnya, Suhail dikenal sebagai seorang
dermawan sehingga dijuluki Dzadur-Rakib (penjamu para musafir) karena dia
selalu menjamu setiap orang yang menyertainya dalam perjalanan. Dia adalah
pemimpin kaumnya, terkaya, dan terbesar wibawanya. Ibu dari Ummu Salamah
bernama Atikah binti Amir bin Rabi’ah bin Malik bin Jazimah bin Alqamah al-Kan’aniyah
yang berasal dari Bani Faras.
Demikianlah, Hindun
dibesarkan di dalam lingkungan bangsawan yang dihormati dan disegani.
Kecantikannya meluluhkan setiap orang yang melihatnya dan kebaikan pribadinya
telah tertanam sejak kecil.
B. Pernikahan
dan Perjuangannya
Banyak pemuda Mekah
yang ingin mempersunting Hindun, dan yang berhasil menikahinya adalah Abdullah
bin Abdul Asad bin Hilal bin Abdullah bin Umar bin Makhzum, seorang penunggang
kuda terkenal dari pahlawan-pahlawan suku Bani Quraisy yang gagah berani.
Ibunya bernama Barrah binti Abdul-Muththalib bin Hasyim, bibi Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam. Abdullah adalah saudara sesusuan Nabi dari Tsuwaibah, budak
Abu Lahab. Mereka hidup bahagia, dan rumah tangga mereka diliputi kerukunan dan
kesejahteraan.
Tidak lama setelah
itu, dakwah Islam menarik hati mereka sehingga mereka memeluk Islam dan menjadi
orang-orang pertama yang masuk Islam. Begitu pula dengan Hindun, dia tergolong
orang-orang yang pertama masuk Islam, dan bersama suaminya memulai perjuangan
dalam hidup mereka.
Orang-orang Quraisy
selalu mengganggu dan menyiksa kaum muslimin agar mereka meninggalkan agama
Islam dan kembali ke agama nenek moyang mereka. Melihat kondisi seperti itu,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam mengizinkan mereka untuk hijrah ke
Habasyah, sehingga mereka disebut sebagai kaum muhajirin yang pertama. Mereka
menetap di Habasyah, dan di sana Hindun melahirkan anak-anaknya: Zainab,
Salamah, Umar, dan Durrah.
Setelah beberapa
lama, mereka berniat kembali ke Mekah, terutama setelah mendengar keislaman dua
tokoh penting Quraisy, Umar bin Khaththab dan Hamzah bin Abdul-Muththalib. Akan
tetapi, ternyata penyiksaan masih terus berlangsung, bahkan bertambah dahsyat.
Untuk menjaga kehormatan diri dan keluarganya, Abu Salamah meminta perlindungan
dari Abu Thalib (paman Nabi) dari siksaan kaumnya, yaitu Bani Makhzum, dan Abu
Thalib menyatakan perlindungannya.
C. Cobaan
Datang
Karena orang-orang
Quraisy masih saja menyiksa kaum muslimin, akhirnya Allah membuka hati penduduk
Madinah untuk menerima Islam. Kemudian Rasulullah mengizinkan kaum muslimin
untuk hijrah ke sana, baik secara kelompok maupun perorangan. Abu Salamah,
istri, dan anaknya (Salamah) hijrah ke sana. Di tengah perjalanan mereka
dihadang oleh kaum Bani Makhzum (kaumnya Ummu Salamah) yang kemudian merampas
serta menyandera Ummu Salamah. Keluarga Abu Salamah (Bani Asad) ikut campur
tangan dan mereka menolak menyerahkan Salamah, bahkan si anak dirampas dan
dijauhkan dari ibunya. Sedangkan Bani Makhzum menculik Ummu Salamah dan
dipenjara. Adapun Abu Salamah dibiarkan ke Yatsrib dengan hati penuh kesedihan
karena harus berpisah dengan istri dan anaknya.
Keadaan demikian
berjalan kurang lebih setahun lamanya. Ummu Salamah terus-menerus menangis
karena kecewa atas perbuatan kaumnya, sehingga akhirnya ada seorang laki-laki
dari kaumnya yang merasa iba dan membiarkan Ummu Salamah menyusul suaminya di
Madinah. Adapun Bani Asad menyerahkan kembali putranya, Salamah, kepadanya.
Akan tetapi, banyak rintangan yang harus dia hadapi, dan berkat keimanan dan
keinginan yang kuat, dia mampu mengatasi semua itu dan tiba di Madinah.
D. Pesan
Abu Salamah untuk Istrinya
Dalam membela Islam,
peran Abu Salamah sangat besar. Dia dikenal berani dalam berperang. Rasulullah
menghargainya dengan mengangkatnya sebagai wakil Rasulullah di Madinah ketika
beliau pergi memimpin pasukan dalam perang Dzil Asyirah pada tahun kedua
hijriah. Abu Salamah ikut dalam Perang Badar dan Uhud. Ketika dalam perang
Uhud, Abu Salamah mengalami luka yang cukup parah dan nyaris meninggal, namun
beberapa saat kemudian dia sembuh.
Setelah Perang Uhud,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menerima berita bahwa Bani Asad hendak
menyerang kaum muslimin di Madinah. Sebelum mereka menyerang, Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. berinisiatif mendahului mereka. Dalam misi ini,
beliau menunjuk Abu Salamah untuk memimpin pasukan yang berjumlah seratus lima
puluh orang dan di dalamnya terdapat Saad bin Abi Waqqash, Abu Ubaidah bin
Jarrah, Amir bin Jarrah, dan yang lainnya. Pasukan diarahkan ke Bukit Quthn,
tempat mata air Bani Asad. Kemenangan gemilang diraih oleh pasukan Abu Salamah,
dan mereka kembali ke Madinah dengan membawa banyak harta rampasan perang. Di
Madinah, luka-luka Abu Salamah kambuh sehingga dia harus beristirahat beberapa
waktu. Ketika sakit, Rasulullah selalu menjenguk dan mendoakannya.
Ummu Salamah selalu
mendampingi suaminya yang sedang dalam keadaan sakit sehingga dia merawat dan
menjaganya siang dan malam. Suatu hari, demam Abu Salamah menghebat, kemudian
Ummu Salamah berkata kepada suaminya, “Aku mendapat berita bahwa seorang
perempuan yang ditinggal mati suaminya, kemudian suaminya masuk surga, istrinya
pun akan masuk surga, jika setelah itu istrinya tidak menikah lagi, dan Allah
akan mengumpulkan mereka nanti di surga. Demikian pula jika si istri yang
meninggal, dan suaminya tidak menikah lagi sepeninggalnya. Untuk itu, mari kita
berjanji bahwa engkau tidak akan menikah lagi sepeninggalku, dan aku berjanji
untukmu untuk tidak menikah lagi sepeninggalmu.” Abu Salamah berkata, “Maukah
engkau menaati perintahku?” Dia menjawab, “Adapun saya bermusyawarah hanya
untuk taat.” Abu Salamah berkata, “Seandainya aku mati, maka menikahlah.” Lalu
dia berdoa kepada Allah ”Ya Allah, kurniakanlah kepada Ummu Salamah sesudahku
seseorang yang lebih baik dariku, yang tidak akan menyengsarakan dan
menyakitinya.”
Pada detik-detik
akhir hidupnya, RasulullahShallallahu ‘Alaihi Wasallam selalu berada di samping
Abu Salamah dan senantiasa memohon kesembuhannya kepada Allah. Akan tetapi, Allah
berkehendak lain. Beberapa saat kemudian maut datang menjemput. Rasulullah
menutupkan kedua mata Abu Salamah dengan tangannya yang mulia dan bertakbir
sembilan kali. Di antara yang hadir ada yang berkata, “Ya Rasulullah, apakah
engkau sedang dalam keadaan lupa?” Beliau menjawab, “Aku sama sekali tidak
dalam keadaan lupa, sekalipun bertakbir untuknya seribu kali, dia berhak atas
takbir itu.” Kemudian beliau menoleh kepada Ummu Salamah dan bersabda, “Barang
siapa yang ditimpa suatu musibah, maka ucapkanlah sebagaimana yang telah
dperintahkan oleh Allah, ‘Sesungguhnya kita milik Allah, dan kepada-Nyalah kita
akan dikembalikan. Ya Allah, karuniakanlah bagiku dalam musibahku dan berilah
aku ganti yang lebih baik daripadanya, maka Allah akan melaksanakannya untuknya.”
Setelah itu
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berdo’a: “Ya Allah, berilah ketabahan
atas kesedihannya, hiburlah dia dari musibah yang menimpanya, dan berilah
pengganti yang lebih baik untuknya.”
Abu Salamah wafat
setelah berjuang menegakkan Islam, dan dia telah memperoleh kedudukan yang
mulia di sisi Rasulullah. Sepeninggal Abu Salamah, Ummu Salamah diliputi rasa
sedih. Dia menjadi janda dan ibu bagi anak-anak yatim.
Setelah wafatnya Abu
Salamah, para pemuka dari kalangan sahabat bersegera meminang Ummu Salamah. Hal
ini mereka lakukan sebagai tanda penghormatan terhadapat suaminya dan untuk
melindungi diri Ummu Salamah. Maka Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin
al-Khaththab meminangnya, tetapi Ummu Salamah menolaknya.
Pada saat dirundung
kesedihan atas suami yang benar-benar dicintainya serta belum mendapatkan orang
yang lebih baik darinya, ia didatangi oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam dengan maksud menghiburnya dan meringankan apa yang dialaminya.
Rasulullah berkata kepadanya, “Mintalah kepada Allah agar Dia memberimu pahala
pada musibahmu serta menggantikan untukmu (suami) yang lebih baik.” Ummu
Salamah bertanya, “Siapa yang lebih baik dari Abu Salamah, wahai Rasulullah?”
E. Di
Rumah Rasulullah
Rasulullah mulai
memikirkan perkara Ummu Salamah, seorang mukminah mujahidah yang memiliki
kesabaran, dan Ummu Salamah pun telah menolak lamaran dua sahabatnya, Abu Bakar
dan Umar. Rasulullah pun berpikir dengan penuh pertimbangan dan kasih sayang
untuk tidak membiarkannya larut dalam kesedihan dan kesendirian.
Dalam keadaan seperti
itu Rasulullah mengutus Hathib bin Abi Balta’ah menemui Ummu Salamah dengan
maksud meminangnya untuk beliau. Maka oleh Ummu Salamah diterimanya pinangan
tersebut. Bagaimana mungkin baginya untuk tidak menerima pinangan dari orang
yang lebih baik dari Abu Salamah, bahkan lebih baik dan semua orang di dunia.
Dengan perkawinan
tersebut maka Ummu Salamah termasuk kalangan Ummahatul- Mukminin, dan oleh
Rasulullah ia ditempatkan di kamar Zainab binti Khuzaimah yang digelari Ummul-Masakiin
(ibu bagi orang-orang miskin) sampai Ummu Salamah meninggal dunia.
Hal itu diceritakan
oleh Ummu Salamah kepada kami. Ia berkata, “Aku dipersunting oleh Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam, lalu aku dipindahkan dan ditempatkan di rumah Zainab
(ummul- masakiin).”
Beberapa keistimewaan
yang dimiliki Ummu Salamah adalah ketajaman logika, kematangan berpikir, dan
keputusan yang benar atas banyak perkara. Karena itu, ia memiliki kedudukan
yang agung di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, seperti
interaksinya dengan para Ummahatul-Mukminin yang merupakan interaksi yang
diliputi rasa kasih sayang dan kelemah-lembutan.
F. Kedudukannya
yang Agung
Di antara perkara
yang menunjukkan kedudukannya yang tinggi di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam adalah apa yang diceritakan Urwah bin Zubair; “Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wassalam menyuruh Ummu Salamah melaksanakan shalat shubuh di Mekah pada
hari penyembelihan (qurban) — padahal saat itu merupakan hari (giliran)nya.
Oleh sebab itu, Rasulullah merasa senang atas kesetujuannya.”
Begitu juga hadits
Ummi Kultsum binti Uqbah yang dimasukkan oleh Ibnu Sa’ad dalam (kitab)
Thabaqat-nya. Ummi Kultsum berkata; “Tatkala Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
menikahi Ummu Salamah, beliau berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya aku
menghadiahkan untuk Raja Najasyi sejumlah bejana berisikan minyak wangi dan
selimut. Akan tetapi, aku bermimpi bahwa Raja Najasyi itu telah meninggal
dunia, kemudian hadiah yang kuberikan kepadanya dikembalikan kepadaku. Karena
dikembalikan kepadaku, maka barang tersebut menjadi milikku.”
Sebagaimana yang
dikatakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Raja Najasyi meninggal dunia, dan
hadiah tersebut dikembalikan kepadanya. Lalu beliau memberikan kepada setiap
istrinya masing-masing satu uqiyah (1/2 liter Mesir) dan beliau memberi (sisa)
keseluruhannya serta selimut kepada Ummu Salamah.
Setelah Ummu Salamah
menjadi istrinya, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam memasukkannya dalam kalangan
ahlul-bait. Di antara riwayat tentang masalah tersebut adalah bahwasanya pernah
pada suatu hari Rasulullah berada di sisi Ummu Salamah, dan anak perempuan Ummu
Salamah ada di sana. Rasulullah kemudian didatangi anak perempuannya, Fathimah
az-Zahra, disertai kedua anaknya, Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhuma, lalu
Rasullah memeluk Fathimah dan berkata, “Semoga rahmat Allah dan berkah-Nya
tercurah pada kalian wahai ahlul-bait. Sesungguhnya Dia Maha Terpuji (lagi)
Maha Mulia.”
Lalu menangislah Ummu
Salamah. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menanyakan tentang
penyebab tangisnya itu. Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, engkau mengistimewakan
mereka sedangkan aku dan anak perempuanku engkau tinggalkan. Beliau bersabda,
“Sesungguhnya engkau dan anak perempuanmu termasuk keluargaku.”
Anak perempuan Ummu
Salamah, Zainab, tumbuh dalam peliharaan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam
ia termasuk di antara wanita yang memiliki ilmu yang luas pada masanya.
Sebelum Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam mempersunting Ummu Salamah, wahyu pernah turun
kepada Rasulullah di kamar Aisyah, yang dengan hal itu Aisyah membanggakannya
pada istri-stri beliau yang lain. Maka setelah Rasulullah menikahi Ummu
Salamah, wahyu turun kepadanya ketika beliau berada di kamar Ummu Salamah.
G. Beberapa
Sikap Cemerlang pada Masa Hidup Ummu Salamah.
Di antara sikap
agungnya adalah apa yang ditunjukkannya pada Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wassalam pada hari (perjanjian) Hudaibiyah. Pada waktu itu ia menyertai
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam dalam perjalanannya menuju Mekah dengan
tujuan menunaikan umrah, tetapi orang-orang musyrik mencegah mereka untuk
memasuki Mekah, dan terjadilah Perjanjian Hudaibiyah antara kedua belah pihak.
Akan tetapi, sebagian
besar kaum muslimin merasa dikhianati dan merasa bahwa orang-orang musyrik
menyia-nyiakan sejumlah hak-hak kaum muslimin. Di antara mayoritas yang menaruh
dendam itu adalah Umar bin al-Khaththab, yang berkata kepada Rasulullah dalam
percakapannya dengan beliau, “Atas perkara apa kita serahkan nyawa di dalam
agama kita?” Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam menjawab, “Saya adalah
hamba Allah dan rasul-Nya. Aku tidak akan menyalahi perintah-Nya, dan Dia tidak
akan menyia-nyiakanku.”
Akan tetapi,
tanda-tanda bahaya semakin memuncak setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam menyuruh kaum muslimin melaksanakan penyembelihan hewan qurban
kemudian bercukur, tetapi tidak seorang pun dari mereka melaksanakannya. Beliau
mengulang seruannya tiga kali tanpa ada sambutan.
Beliau menemui istrinya, Ummu Salamah, dan
menceritakan kepadanya tentang sikap kaum muslimin. Ummu Salamah berkata,
“Wahai Nabi Allah, apakah engkau menginginkan perintah Allah ini dilaksanakan
oleh kaum muslimin? Keluarlah engkau, kemudian janganlah mengajak bicara
sepatah kata seorang pun dari mereka sampai engkau menyembelih qurbanmu serta
memanggil tukang cukur yang mencukurmu.”
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kagum atas pendapatnya dan bangkit mengerjakan
sebagaimana yang diusulkan Ummu Salamah. Tatkala kaum muslimin melihat
Rasulullah mengerjakan hal itu tanpa berkata kepada mereka, mereka bangkit dan
menyembelih serta sebagian dari mereka mulai mencukur kepala sebagian yang lain
tanpa ada perasaan keluh kesah dan penyesalan atas tindakan Rasulullah yang
mendahului mereka.
Ummu Salamah telah
menyertai Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam di banyak peperangan, yaitu
peperangan Khaibar, Pembebasan Mekah, pengepungan Tha’if, peperangan Hawazin,
Tsaqif kemudian ikut bersama beliau di Haji Wada’.
Kita tidak melupakan
sikapnya terhadap Umar bin al-Khaththab, tatkala Umar datang kepadanya dan
mengajak bicara tentang perkara keperluan Ummahatul-Mukminin kepada Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam serta kekasaran mereka terhadap Rasulullah. Maka ia
berkata, “Engkau ini aneh, wahai anak al-Khaththab. Engkau telah ikut campur di
setiap perkara sehingga ingin mencampuri urusan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam beserta istri-istrinya?”
Setelah Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam meninggal dunia ia senantiasa mengenang beliau dan
sangat berduka cita atas kewafatannya. Beliau senantiasa banyak melakukan puasa
dan beribadah, tidak kikir pada ilmu, serta meriwayatkan hadits yang berasal
dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Telah diriwayatkannya
sekian banyak hadits shahih yang bersumber dari Rasulullah dan suaminya, Abu
Salamah, serta dari Fathimah az-Zahraa Sedangkan orang yang meriwayatkan
darinya banyak sekali, di antara mereka adalah anak-anaknya dan para pemuka dan
sahabat serta ahli hadits.
Di antara beberapa
sikapnya yang nyata adalah pada hari pembebasan kota Mekah. Waktu itu Nabi
keluar dari Madinah bersama bala tentaranya dengan kehebatan dan jumlah yang
belum pernah disaksikan oleh bangsa Arab, sehingga orang-orang musyrik Quraisy
merasa takut, dan mereka keluar dari rumah dengan maksud menemui Rasulullah untuk
bertobat dan menyatakan keislaman mereka.
Termasuk dari mereka,
Abu Sufyan bin al-Harits bin Abdul-Muththalib (anak paman Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam.) dan Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughirah
(anak bibi [dari ayah] Rasulullah, saudara Ummu Salamah sebapak). Ketika mereka
berdua meminta izin masuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
beliau enggan memberi izin masuk bagi keduanya disebabkan penyiksaan mereka
yang keras terhadap kaum muslimin menjelang beliau hijrah dari Mekah.
Maka berkatalah Ummu
Salamah kepada Rasulullah dengan perasaan iba terhadap keluarganya sendiri dan
juga keluarga Rasulullah, “Wahai Rasulullah, mereka berdua adalah anak pamanmu
dan anak bibimu (dan ayah) serta iparmu.” Rasulullah menjawab, “Tidak ada keperluan
bagiku dengan mereka berdua. Adapun anak pamanku, aku telah diperlakukan
olehnya dengan tidak baik. Adapun anak bibiku (dari ayah) serta iparku telah
berkata di Mekah dengan apa yang ia katakan.”
Pernyataan itu telah
sampai kepada Abu Sufyan, anak paman Rasulullah. Maka ia berkata, “Demi Allah,
ia harus mengizinkanku atau aku mengambil anak ini dengan kedua tanganku -pada
saat itu ia bersama anaknya, Ja’far- kemudian kami harus berkelana di dunia
sehingga mati kehausan dan kelaparan.”
Lalu Ummu Salamah
memberitahukan perkataan Abu Sufyan tersebut kepada Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam. dengan kembali memohon rasa belas kasih. Akhirnya hati beliau
menjadi luluh, lalu mengizinkan keduanya masuk. Maka masuklah keduanya dan
menyatakan keislaman serta bertobat di hadapan Rasulullah.
H. Sikapnya
terhadap Fitnah
Ummu Salamah selalu
berada di rumahnya, senantiasa ikhlas beribadah kepada Allah Subhanahu Wa
Ta’ala dan menjaga Sunnah suaminya tercinta pada masa (khilafah) Abu Bakar
ash-Shiddiq dan Umar bin al-Khaththab.
Pada masa khilafah
Utsman bin Affan ia melihat kegoncangan situasi serta perpecahan kaum muslimin
di seputar khalifah. Bahaya fitnah semakin memuncak di langit kaum muslirnin.
Maka ia pergi menemui Utsman dan menasihatinya supaya tetap berpegang teguh
pada petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam serta petunjuk Abu Bakar
dan Umar bin al-Khaththab, tidak menyimpang dan petunjuk tersebut
selama-lamanya.
Apa yang
dikhawatirkan Ummu Salamah terjadi juga, yaitu peristiwa terbunuhnya Utsman
yang saat itu tengah membaca Al-Qur’an dan angin fitnah tengah bertiup kencang
terhadap kaum muslimin. Pada saat itu Aisyah telah membulatkan tekad untuk
keluar menuju Bashrah disertai Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin al-’Awwam
dengan tujuan memobilisasi massa untuk melawan Ali bin Abi Thalib. Maka Ummu
Salamah mengirim surat yang memiliki sastra indah kepada Aisyah.
“Dari Ummu Salamah,
Istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, untuk Aisyah Ummul-Mu’ minin.
Sesungguhnya aku memuji Allah
yang tidak ada ilah (Tuhan) melainkan Dia.
Amma ba’du.
Engkau sungguh telah merobek
pembatas antara Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan umatnya yang
merupakan hijab yang telah ditetapkan keharamannya.
Sungguh Al-Qur’an
telah memberimu kemuliaan, maka jangan engkau lepaskan. Dan Allah telah menahan
suaramu, maka janganlah engkau mengeluarkannya Serta Allah telah tegaskan bagi
umat ini seandainya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengetahui bahwa
kaum wanita memiliki kewajiban jihad (berperang) niscaya beliau berpesan
kepadamu untuk menjaganya.
Tidakkah engkau tahu
bahwasanya beliau melarangmu melampaui batas dalam agama, karena sesungguhnya
tiang agama tidak bisa kokoh dengan campur tangan wanita apabila tiang itu
telah miring, dan tidak bisa diperbaiki oleh wanita apabila telah hancur. Jihad
wanita adalah tunduk kepada segala ketentuan, mengasuh anak, dan mencurahkan
kasih sayangnya.”
Ummu Salamah berada
di pihak Ali bin Abi Thalib karena beliau menggikuti kesepakatan kaum muslimin
atas terpilihnya beliau sebagai khalifah mereka. Karena itu, Ummu Salamah
mengirim/mengutus anaknya, Umar, untuk ikut berperang dalam barisan ‘Ali
radhiyallahu ‘anhu .
I. Saat
Wafatnya
Pada tahun ke-59
hijriah, usia Ummu Salamah telah mencapai 84 tahun. Usia tua dan pikun merambah
di pertambahan umurnya. Allah ta’ala mengangkat rohnya yang suci naik ke atas
menuju hadirat-Nya. Ia meninggal dunia setelah hidup dengan aktivitas yang
dipenuhi oleh pengorbanan, jihad, dan kesabaran di jalan Allah Subhanahu Wa
Ta’ala dan Rasul-Nya. Beliau dishalatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu a’nhu
dan dikuburkan di al-Baqi’ di samping kuburan Ummahatul-Mukminin lainnya.
Semoga rahmat Allah
senantiasa menyertai Sayyidah Ummu Salamah dan semoga Allah memberinya tempat
yang layak di sisi-Nya. Amin.
BAB
VII
ISTRI
KETUJUH
BAB
VIII
ISTRI
KE DELAPAN
Juwairiyah
binti al-Harits bin Abi Dhiraar ( wafat
56 th )
Telah kita ketahui
bahwa setiap istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam itu memiliki suatu
kelebihan. Demikian juga halnya dengan Juwairiyah yang telah membawa berkah
besar bagi kaumnya, Bani al-Musthaliq. Bagaimana tidak, setelah dia memeluk
Islam, Bani al-Musthaliq mengikrarkan diri menjadi pengikut Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam. Hal ini pernah diungkapkan Aisyah, “Aku tidak mengetahui jika
ada seorang wanita yang lebih banyak berkahnya terhadap kaumnya daripada
Juwairiyah.”
Juwairiyah adalah
putri seorang pemimpin Bani al-Musthaliq yang bernama al-Harits bin Abi Dhiraar
yang sangat memusuhi Islam. Rasulullah memerangi mereka sehingga banyak kalangan
mereka yang terbunuh dan wanita-wanitanya menjadi tawanan perang. Di antara
tawanan tersebut terdapat Juwairiyah yang kemudian memeluk Islam, dan
keislamannya itu merupakan awal kebaikan bagi kaumnya.
A. Kelahiran
dan Masa Pertumbuhannya
Juwairiyah dilahirkan
empat belas tahun sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Semula namanya adalah Burrah,
yang kemudian diganti menjadi Juwairiyah. Nama lengkapnya adalah Juwairiyah
binti al-Harits bin Abi Dhiraar bin Habib bin Aid bin Malik bin Judzaimah bin
Musthaliq bin Khuzaah. Ayahnya, al-Harits, adalah pemimpin kaumnya yang masih
musyrik dan menyembah berhala sehingga Juwairiyah dibesarkan dalam kondisi
keluarga seperti itu. Tentunya dia memiliki sifat dan kehormatan sebagai
keluarga seorang pemimpin. Dia adalah gadis cantik yang paling luas ilmunya dan
paling baik budi pekertinya di antara kaumnya. Kemudian dia menikah dengan
seorang pemuda yang bernama Musafi’ bin Shafwan.
B. Berada
dalam Tawanan Rasulullah
Di bawah komando
al-Harits bin Abi Dhiraar, orang-orang munafik berniat menghancurkan kaum
muslimin. Al-Harits sudah mengetahui kekalahan orang-orang Quraisy yang
berturut-turut oleh kaum muslimin. Al-Harits beranggapan, jika pasukannya
berhasil mengalahkan kaum muslimin, mereka dapat menjadi penguasa suku-suku Arab
setelah kekuasaan bangsa Quraisy. Al-Harits menghasut pengikutnya untuk
memerangi Rasulullah dan kaum muslimin. Akan tetapi, kabar tentang persiapan
penyerangan tersebut terdengar oleh Rasulullah, sehingga beliau berinisiatif
untuk mendahului menyerang mereka. Dalam penyerangan tersebut, Aisyah
Radhiyallahu ‘anha turut bersama Rasulullah, yang kemudian meriwayatkan
pertemuan Rasulullah dengan Juwairiyah setelah dia menjadi tawanan. Perang
antara pasukan kaum muslimin dengan Bani al-Musthaliq pun pecah, dan akhirnya
dimenangkan oleh pasukan muslim. Pemimpin mereka, al-Harist, melarikan diri,
dan putrinya, Juwairiyah, tertawan di tangan Tsabit bin Qais al-Anshari.
Juwairiyah mendatangi Rasulullah dan mengadukan kehinaan dan kemalangan yang
menimpanya, terutama tentang suaminya yang terbunuh dalam peperangan.
Tentang Juwairiyah,
Aisyah mengemukakan cerita sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Saad dalam
Thabaqatnya, “Rasulullah menawan wanita-wanita Bani Musthaliq, kemudian beliau
menyisihkan seperlima dari antara mereka dan membagikannya kepada kaum
muslimin. Bagi penunggang kuda mendapat dua bagian, dan lelaki yang lain
mendapat satu bagian. Juwairiyah jatuh ke tangan Tsabit bin Qais bin Samas
al-Anshari. Sebelumnya, Juwairiyah menikah dengan anak pamannya, yaitu Musafi
bin Shafwan bin Malik bin Juzaimah, yang tewas dalam pertempuran melawan kaum
muslimin. Ketika Rasulullah tengah berkumpul denganku, Juwairiyah datang
menanyakan tentang penjanjian pembebasannya. Aku sangat membencinya ketika dia
menemui beliau. Kemudian dia benkata, ‘Ya Rasulullah, aku Juwairiyah binti
al-Harits, pemimpin kaumnya. Sekarang ini aku tengah berada dalam kekuasaan
Tsabit bin Qais. Dia membebaniku dengan sembilan keping emas, padahal aku
sangat menginginkan kebebasanku.’ Beliau bertanya, ‘Apakah engkau menginginkan
sesuatu yang lebih dari itu?’ Dia balik bertanya, ‘Apakah gerangan itu?’ Beliau
menjawab, ‘Aku penuhi permintaanmu dalam membayar sembilan keping emas dan aku
akan menikahimu.’ Dia menjawab, ‘Baiklah, ya Rasulullah!” Beliau bersabda, ‘Aku
akan melaksanakannya.’ Lalu tersebarlah kabar itu, dan para sahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Ipar-ipar Rasulullah tidak layak menjadi
budak-budak.’ Mereka membebaskan tawanan Bani al-Musthaliq yang jumlahnya hingga
seratus keluarga karena perkawinan Juwairiyah dengan Rasulullah. Aku tidak
pernah menemukan seorang wanita yang lebih banyak memiliki berkah daripada
Juwairiyah.”
Selain itu, Aisyah
sangat memperhatikan kecantikan Juwairiyah, dan itulah di antaranya yang menyebabkan
Rasulullah menawarkan untuk menikahinya. Aisyah sangat cemburu dengan keadaan
seperti itu. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berbuat baik
kepada Juwairiyah bukan semata karena wajahnya yang cantik, melainkan karena
rasa belas kasih beliau kepadanya. Juwairiyah adalah wanita yang ditinggal mati
suaminya dan saat itu dia telah menjadi tawanan rampasan perang kaum muslimin.
Mendengar putrinya
berada dalam tawanan kaum muslimin, al-Harits bin Abi Dhiraar mengumpulkan
puluhan unta dan dibawanya ke Madinah untuk menebus putrinya. Sebelum sampai di
Madinah dia berpendapat untuk tidak membawa seluruh untanya, namun dia hanya
membawa dua ekor unta yang terbaik, yang kemudian dibawa ke al-Haqiq di bawah
pengawasan para pengawalnya. Lalu dia pergi ke Madinah dan menemui Rasulullah
di masjid. Terdapat dua riwayat yang menerangkan pertemuan al-Harits dengan
Rasulullah. Dalam riwayat pertama, seperti yang diungkapkan Ibnu Saad dalam
Thabaqat-nya, dikatakan bahwa Rasulullah menyerahkan keputusan kepada
Juwairiyah.
Juwairiyah berkata,
“Aku telah memilih Rasulullah ..” Ayahnya berkata, “Demi Allah, kau telah
menghinakan kami.” Dalam riwayat kedua seperti yang disebutkan Ibnu Hisyam
bahwa al-Harits menemui Rasulullah dan berkata, “Ya Muhammad, engkau telah
menawan putriku. Ini adalah tebusan untuk kebebasannya.” Rasulullah menjawab,
“Di manakah kedua unta yang engkau sembunyikan di al-Haqiq? Di tempat anu dan
anu?” Al-Harits menjawab, “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan engkau
adalah utusanNya. Tiada yang mengetahui hal itu selain Allah.” Al-Harits
memeluk Islam dan diikuti sebagian kaumnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam meminang Juwairiyah dengan mas kawin 400 dirham.
C. Berada
di Rumah Rasulullah
Ketika Juwairiyah
menikah dengan Rasulullah, beliau mengubah namanya, yang asalnya Burrah menjadi
Juwairiyah, sebagaimana disebutkan dalam Thabaqat-nya Ibnu Saad, “Nama
Juwairiyah binti al-Harits merupakan perubahan dari Burrah. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam menggantinya menjadi Juwairiyah, karena khawatir
disebut bahwa beliau keluar dari rumah burrah.”
Juwairiyah telah
memeluk Islam dan keimanan di hatinya telah kuat. Semata-mata dia mengikhlaskan
diri untuk Allah dan Rasul-Nya. Ibnu Abbas banyak meriwayatkan shalat dan
ibadahnya, di antaranya, “Ketika itu Rasulullah hendak melakukan shalat fajar
dan keluar dari tempatnya. Setelah shalat fajar dan duduk hingga matahani
meninggi, beliau pulang, sementara Juwairiyah tetap dalam shalatnya. Juwairiah
berkata, ‘Aku tetap giat shalat setelahmu, ya Rasulullah.’ Nabi bersabda, ‘Aku
akan mengatakan sebuah kalimat setelahmu. Jika engkau kerjakan, niscaya akan
lebih berat dalam timbangan, ‘Maha Suci Allah, sebanyak yang Dia ciptakan. Maha
Suci Allah Penghias Arsy-Nya. Maha Suci Allah, unsur seluruh kalimat-Nya.”
Setelah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam meninggal dunia, Juwairiyah mengasingkan diri
serta memperbanyak ibadah dan bersedekah di jalan Allah dengan harta yang
diterimanya dari Baitul-Mal. Ketika terjadi fitnah besar berkaitan dengan Aisyah,
dia banyak berdiam diri, tidak berpihak ke mana pun.
D. Saat
Wafatnya
Juwairiyah wafat pada
masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, pada usianya yang keenam puluh. Dia
dikuburkan di Baqi’, bersebelahan dengan kuburan istri-istri Rasulullah yang lain.
Semoga Allah rela kepadanya dan kepada semua istri Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam
Semoga Allah
memberikan kemuliaan kepadanya di akhirat dan ditempatkan bersama hamba-hamba
yang saleh. Amin.
BAB
IX
ISTRI
KESEMBILAN
Shafiyyah
binti Huyay bin Akhtab ( wafat 50 H)
A. Nama
dan Nasabnya
Nama lengkapnya
adalah Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab bin Sa’yah bin Amir bin Ubaid bin Kaab
bin al-Khazraj bin Habib bin Nadhir bin al-Kham bin Yakhum dari keturunan Harun
bin Imran. Ibunya bernama Barrah binti Samaual dari Bani Quraizhah. Shafiyyah
dilahirkan sebelas tahun sebelum hijrah, atau dua tahun setelah masa kenabian
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Ayahnya adalah seorang pemimpin Bani
Nadhir.
Sejak kecil dia
menyukai ilmu pengetahuan dan rajin mempelajari sejarah dan kepercayaan
bangsanya. Dari kitab suci Taurat dia membaca bahwa akan datang seorang nabi
dari jazirah Arab yang akan menjadi penutup semua nabi. Pikirannya tercurah
pada masalah kenabian tersebut, terutama setelah Muhammad muncul di Mekah Dia
sangat heran ketika kaumnya tidak mempercayai berita besar tersebut, padahal
sudah jelas tertulis di dalam kitab mereka. Demikian juga ayahnya, Huyay bin
Akhtab, yang sangat gigih menyulut permusuhan terhadap kaum muslimin.
Sifat dusta, tipu muslihat,
dan pengecut ayahnya sudah tampak di mata Shafiyyah dalam banyak peristiwa. Di
antara yang menjadi perhatian Shafiyyah adalah sikap Huyay terhadap kaumnya
sendiri, Yahudi Bani Quraizhah. Ketika itu, Huyay berjanji untuk mendukung dan
memberikan pertolongan kepada mereka jika mereka melepaskan perjanjian tidak
mengkhianati kaum muslimin (Perjanjian Hudaibiyah). Akan tetapi, ketika kaum
Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut, Huyay melepaskan tanggung jawab dan
tidak menghiraukan mereka lagi. Hal lain adalah sikapnya terhadap orang-orang
Quraisy Mekah. Huyay pergi ke Mekah untuk menghasut kaum Quraisy agar memerangi
kaum muslimin, dan mereka menyuruhnya mengakui bahwa agama mereka (Quraisy)
lebih mulia daripada agama Muhammad, dan tuhan mereka lebih baik daripada tuhan
Muhammad.
B. Masa
Pernikahannya
Sayyidah Shafiyyah
bin Huyay Radhiyallahu ‘anha telah dua kali menikah sebelum dengan Rasulullah.
Suami pertamanya bernama Salam bin Musykam, salah seorang pemimpin Bani
Quraizhah, namun rumah tangga mereka tidak berlangsung lama. Suami keduanya
bernama Kinanah bin Rabi’ bin Abil Hafiq, yang juga salah seorang pemimpin Bani
Quraizhah yang diusir Rasulullah dan kemudian menetap di Khaibar.
C. Penaklukan
Khaibar dan Penawanannya
Perang Khandaq telah
membuka tabir pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian yang telah mereka
sepakati dengan kaum muslimin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam segera
menyadari ancaman yang akan menimpa kaum muslimin dengan berpindahnya kaum
Yahudi ke Khaibar kemudian membentuk pertahanan yang kuat untuk persiapan
menyerang kaum muslimin.
Setelah perjanjian
Hudaibiyah disepakati untuk menghentikan permusuhan selama sepuluh tahun,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam merencanakan penyerangan terhadap kaum
Yahudi, tepatnya pada bulan Muharam tahun ketujuh hijriah. Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam memimpin tentara Islam untuk menaklukkan Khaibar, benteng
terkuat dan terakhir kaum Yahudi. Perang berlangsung dahsyat hingga beberapa
hari lamanya, dan akhirnya kemenangan ada di tangan umat Islam. Benteng-benteng
mereka berhasil dihancurkan, harta benda mereka menjadi harta rampasan perang,
dan kaum wanitanya pun menjadi tawanan perang. Di antara tawanan perang itu
terdapat Shafiyyah, putri pemimpin Yahudi yang ditinggal mati suaminya.
Bilal membawa
Shafiyyah dan putri pamannya menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Di
sepanjang jalan yang dilaluinya terlihat mayat-mayat tentara kaumnya yang
dibunuh. Hati Shafiyyah sangat sedih melihat keadaan itu, apalagi jika
mengingat bahwa dirinya menjadi tawanan kaum muslimin. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam memahami kesedihan yang dialaminya, kemudian beliau bersabda
kepada Bilal, “Sudah hilangkah rasa kasih sayang dihatimu, wahai Bilal,
sehingga engkau tega membawa dua orang wanita ini melewati mayat-mayat suami
mereka?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam memilih Shafiyyah sebagai
istri setelah terlebih dahulu menawarkan Islam kepadanya dan kemudian
diterimanya.
Seperti telah dikaji
di atas, Shafiyyah telah banyak memikirkan Rasulullah Muhammad Shallallahu
‘alaihi wasallam sejak dia belum mengetahui kerasulan beliau. Keyakinannya
bertambah besar setelah dia mengetahui bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Anas
Radhiayallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah ketika hendak menikahi Shafiyyah binti
Huyay bertanya kepadanya, ‘Adakah sesuatu yang engkau ketahui tentang diriku?’
Dia menjawab, ‘Ya Rasulullah, aku sudah mengharapkanmu sejak aku masih musyrik,
dan memikirkan seandainya Allah mengabulkan keinginanku itu ketika aku sudah
memeluk Islam.” Ungkapan Shafiyyah tersebut menunjukkan rasa percayanya kepada
Rasulullah dan rindunya terhadap Islam.
Bukti-bukti yang
jelas tentang keimanan Shafiyyah dapat terlihat ketika dia memimpikan sesuatu
dalarn tidurnya kemudian dia ceritakan mimpi itu kepada suaminya. Mengetahui
takwil dan mimpi itu, suaminya marah dan menampar wajah Shafiyyah sehingga
berbekas di wajahnya. Rasulullah melihat bekas di wajah Shafiyyah dan bertanya,
“Apa ini?” Dia menjawab, “Ya Rasul, suatu malam aku bermimpi melihat bulan muncul
di Yastrib, kemudian jatuh di kamarku. Lalu aku ceritakan mimpi itu kepada
suamiku, Kinanah. Dia berkata, ‘Apakah engkau suka menjadi pengikut raja yang
datang dari Madinah?’ Kemudian dia menampar wajahku.”
D. Menjadi
Ummul-Mukminin
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Shafiyyah dan kebebasannya menjadi mahar
perkawinan dengannya. Pernikahan beliau dengan Shafiyyah didasari beberapa
landasan. Shafiyyah telah memilih Islam serta menikah dengan Rasulullah ketika
beliau memberinya pilihan antara memeluk Islam dan menikah dengan beliau atau
tetap dengan agamanya dan dibebaskan sepenuhnya. Ternyata Shafiyyah memilih
untuk tetap bersama Nabi, Selain itu, Shafiyyah adalah putri pemimpin Yahudi
yang sangat membahayakan kaum muslimin, di samping itu, juga karena
kecintaannya kepada Islam dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam menghormati Shafiyyah sebagaimana hormatnya beliau terhadap
istri-istri yang lain. Akan tetapi, istri-istri beliau menyambut kedatangan
Shafiyyah dengan wajah sinis karena dia adalah orang Yahudi, di samping juga
karena kecantikannya yang menawan. Akibat sikap mereka, Rasulullah pernah tidak
tidur dengan Zainab binti Jahsy karena kata-kata yang dia lontarkan tentang
Shafiyyah. Aisyah bertutur tentang peristiwa tersebut, “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam tengah dalam perjalanan. Tiba-tiba unta Shafiyyah sakit,
sementara unta Zainab berlebih. Rasulullah berkata kepada Zainab, ‘Unta
tunggangan Shafiyyah sakit, maukah engkau memberikan salah satu dari untamu?’
Zainab menjawab, ‘Akankah aku memberi kepada seorang perempuan Yahudi?’
Akhirnya, beliau meninggalkan Zainab pada bulan Dzulhijjah dan Muharam.
Artinya, beliau tidak mendatangi Zainab selama tiga bulan. Zainab berkata,
‘Sehingga aku putus asa dan aku mengalihkan tempat tidurku.” Aisyah mengatakan
lagi, “Suatu siang aku melihat bayangan Rasulullah datang. Ketika itu Shafiyyah
mendengar obrolan Hafshah dan Aisyah tentang dirinya dan mengungkit-ungkit
asal-usul dirinya. Betapa sedih perasannya. Lalu dia mengadu kepada Rasulullah
sambil menangis. Rasulullah menghiburnya, ‘Mengapa tidak engkau katakan,
bagaimana kalian berdua lebih baik dariku, suamiku Muhammad, ayahku Harun, dan
pamanku Musa.” Di dalam hadits riwayat Tirmidzi juga disebutkan, “Ketika
Shafiyyah mendengar Hafshah berkata, ‘Perempuan Yahudi!’ dia menangis, kemudian
Rasulullah menghampirinya dan berkata, ‘Mengapa engkau menangis?’ Dia menjawab,
‘Hafshah binti Umar mengejekku bahwa aku wanita Yahudiah.’ Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Engkau adalah anak nabi, pamanmu adalah
nabi, dan kini engkau berada di bawah perlindungan nabi. Apa lagi yang dia
banggakan kepadamu?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian berkata
kepada Hafshah, ‘Bertakwalah engkau kepada Allah, Hafshah!”
Salah satu bukti
cinta Shafiyyah kepada Nabi terdapat pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Saad dalam Thabaqat-nya tentang istri-istri Nabi yang berkumpul menjelang
beliau wafat. Shafiyyah berkata, “Demi Allah, ya Nabi, aku ingin apa yang
engkau derita juga menjadi deritaku.” Istri-istri Rasulullah memberikan isyarat
satu sama lain. Melihat hal yang demikian, beliau berkata, “Berkumurlah!”
Dengan terkejut mereka bertanya, “Dari apa?” Beliau menjawab, “Dari isyarat
mata kalian terhadapnya. Demi Allah, dia adalah benar.”
Setelah Rasulullah
wafat, Shafiyyah merasa sangat terasing di tengah kaum muslimin karena mereka
selalu menganggapnya berasal dari Yahudi, tetapi dia tetap komitmen terhadap
Islam dan mendukung perjuangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika
terjadi fitnah besar atas kematian Utsman bin Affan, dia berada di barisan
Utsman. Selain itu, dia pun banyak meriwayatkan hadits Nabi. Dia wafat pada
masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Marwan bin Hakam menshalatinya, kemudian
menguburkannya di Baqi’. Semoga Allah memberinya tempat yang lapang dan mulia
di sisiNya. Amin.
BAB
X
ISTRI
KESEPULUH
UMMU
HABIBA BINT SUFYAN (wafat 44 th / 664 m )
Dalam perjalanan
hidupnya, Ummu Habibah banyak mengalami penderitaan dan cobaan yang berat.
Setelah memeluk Islam, dia bersama suaminya hijrah ke Habasyah. Di sana,
ternyata suaminya murtad dari agama Islam dan beralih memeluk Nasrani. Suaminya
kecanduan minuman keras, dan meninggal tidak dalam agama Islam. Dalam kesunyian
hidupnya, Ummu Habibah selalu diliputi kesedihan dan kebimbangan karena dia
tidak dapat berkumpul dengan keluarganya sendiri di Mekah maupun keluarga
suaminya karena mereka sudah menjauhkannya. Apakah dia harus tinggal dan hidup
di negeri asing sampai wafat?
Allah tidak akan
membiarkan hamba-Nya dalam kesedihan terus-menerus. Ketika mendengar
penderitaan Ummu Habibah, hati Rasulullah sangat tergerak sehingga beliau
menikahinya dan Ummu Habibah tidak lagi berada dalam kesedihan yang
berkepanjangan. Hal itu sesuai dengan firman Allah bahwa: Nabi itu lebih utama
daripada orang lain yang beriman, dan istri-istri beliau adalah ibu bagi orang
yang beriman.
Keistimewaan Ummu
Habibah di antara istri-istri Nabi lainnya adalah kedudukannya sebagai putri
seorang pemimpin kaum musyrik Mekah yang memelopori pernentangan terhadap
dakwah Rasulullah dan kaum muslimin, yaitu Abu Sufyan.
A. Masa
Kecil dan Nasab Pertumbuhannya
Ummu
Habibah dilahirkan tiga belas tahun sebelum kerasulan Muhammad Shalalahu
‘Alaihi Wasallam dengan nama Ramlah binti Shakhar bin Harb bin Unayyah bin Abdi
Syams. Ayahnya dikenal dengan sebutan Abu Sufyan. Ibunya bernama Shafiyyah
binti Abil Ashi bin Umayyah bin Abdi Syams, yang merupakan bibi sahabat
Rasulullah, yaitu Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Sejak kecil Ummu Habibah
terkenal memiliki kepribadian yang kuat, kefasihan dalam berbicara, sangat
cerdas, dan sangat cantik.
B. Pernikahan,
Hijrah, dan Penderitaannya
Ketika usia Ramlah
sudah cukup untuk menikah, Ubaidillah bin Jahsy mempersunting- nya, dan Abu Sufyan
pun menikahkan mereka. Ubaidillah terkenal sebagai pemuda yang teguh memegang
agama Ibrahirn ‘alaihissalam. Dia berusaha menjauhi minuman keras dan judi,
serta berjanji untuk memerangi agama berhala. Ramlah sadar bahwa dirinya telah
menikah dengan seseorang yang bukan penyembah berhala, tidak seperti kaumnya
yang membuat dan menyembah patung-patung. Di dalam hatinya terbesit keinginan
untuk mengikuti suaminya memeluk agama Ibrahim ‘alaihissalam.
Sementara itu, di
Mekah mulai tersebar berita bahwa Muhammad datang membawa agama baru, yaitu
agama Samawi yang berbeda dengan agama orang Quraisy pada umumnya. Mendengar
kabar itu, hati Ubaidillah tergugah, kemudian menyatakan dirinya memeluk agama
baru itu. Dia pun mengajak istrinya, Ramlah, untuk memeluk Islam bersamanya.
Mendengar misi
Muhammad berhasil dan maju pesat, orang-orang Quraisy menyatakan perang
terhadap kaum muslimin sehingga Rasulullah memerintahkan kaum muslimin untuk
berhijrah ke Habasyah. Di antara mereka terdapat Ramlah dan suaminya, Ubaidillah
bin Jahsy. Setelah beberapa lama mereka menanggung penderitaan berupa
penganiayaan, pengasingan, bahkan pengusiran dan keluarga yang terus mendesak
agar mereka kembali kepada agama nenek moyang. Ketika itu Ramlah tengah
mengandung bayinya yang pertama. Setibanya di Habasyah, bayi Ramlah lahir yang
kemudian diberi nama Habibah. Dari nama bayi inilah kemudian nama Ramlah
berubah menjadi Ummu Habibah.
Selama mereka di
Habasyah terdengar kabar bahwa kaum muslimin di Mekah semakin kuat dan
jumlahnya bertambah sehingga mereka menetapkan untuk kembali ke negeri asal
mereka. Sementara itu, Ummu Habibah dan suaminya memilih untuk menetap di
Habasyah. Di tengah perjalanan, rombongan kaum muslimin yang akan kembali ke
Mekah mendengar kabar bahwa keadaan di Mekah masih gawat dan orang-orang
musyrik semakin meningkatkan tekanan dan boikot terhadap kaum muslimin.
Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke Habasyah.
Beberapa tahun
tinggal di Habasyah, kaum muslimin sangat mengharapkan kesedihan akan cepat
berlalu dan barisan kaum muslimin menjadi kuat, namun kesedihan belum habis.
Kondisi itulah yang menyebabkan Ubaidillah memiliki keyakinan bahwa kaum
muslimin tidak akan pernah kuat. Tampaknya dia sudah putus asa sehingga sedikit
demi sedikit hatinya mulai condong pada agama Nasrani, agama orang Habasyah.
Ummu Habibah
mengatakan bahwa dia memimpikan sesuatu, “Aku melihat suamiku berubah menjadi
manusia paling jelek bentuknya. Aku terkejut dan berkata, ‘Demi Allah,
keadaannya telah berubah.’ Pagi harinya Ubaidillah berkata, ‘Wahai Ummu
Habibah, aku melihat tidak ada agama yang lebih baik daripada agama Nasrani,
dan aku telah menyatakan diri untuk memeluknya. Setelah aku memeluk agama
Muhammad, aku akan memeluk agama Nasrani.’ Aku berkata, ‘Sungguhkah hal itu
baik bagimu?’ Kemudian aku ceritakan kepadanya tentang mimpi yang aku lihat,
namun dia tidak mempedulikannya. Akhirnya dia terus-menerus meminum minuman
keras sehingga merenggut nyawanya.”
Demikianlah,
Ubaidillah keluar dari agama Islam yang telah dia pertaruhkan dengan hijrah ke
Habasyah, dengan menanggung derita, meninggalkan kampung halaman bersama istri
dan anaknya yang masih kecil. Ubaidillah pun berusaha mengajak istrinya untuk
keluar dari Islam, namun usahanya sia-sia karena Ummu Habibah tetap kokoh dalam
Islam dan mempertahankannya hingga suaminya meninggal. Ummu Habibah merasa
terasing di tengah kaum muslimin karena merasa malu atas kemurtadan suaminya.
Baginya tidak ada pilihan lain kecuali kembali ke Mekah, padahal orang tuanya,
Abu Sufyan, sedang gencar menyerang Nabi dan kaum muslimin. Dalam keadaan
seperti itu, Ummu Habibah merasa rumahnya tidak aman lagi baginya, sementara
keluarga suaminya telah meninggalkan rumah mereka karena telah bergabung dengan
Rasulullah. Akhirnya, dia kembali ke Habasyah dengan tanggungan derita yang
berkepanjangan dan menanti takdir dari Allah.
C. Menjadi
Ummul-Mukminin
Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam selalu memantau keadaan umat Islam, tidak saja yang berada di
Mekah dan Madinah, tetapi juga yang di Habasyah. Ketika memantau Habasyahlah
beliau mendengar kisah tentang Ummu Habibah yang ditinggalkan Ubaidillah dengan
derita yang ditanggungnya selama ini. Hati beliau terketuk dan berniat
menikahinya.
Ummu Habibah
menceritakan mimpi dan kehidupannya yang suram. Dia berkata, “Dalam tidurku aku
melihat seseorang menjumpaiku dan memanggilku dengan sebutan Ummul-Mukminin.
Aku terkejut. Kemudian aku mentakwilkan bahwa Rasulullah akan menikahiku.” Dia
melanjutkan, “Hal itu aku lihat setelah masa iddahku habis. Tanpa aku sadari
seorang utusan Najasyi mendatangiku dan meminta izin, dia adalah Abrahah,
seorang budak wanita yang bertugas mencuci dan memberi harum-haruman pada
pakaian raja. Dia berkata, ‘Raja berkata kepadamu, ‘Rasulullah mengirimku surat
agar aku mengawinkan kamu dengan beliau.” Aku menjawab, ‘Allah memberimu kabar
gembira dengan membawa kebaikan.’ Dia berkata lagi, ‘Raja menyuruhmu menunjuk
seorang wali yang hendak mengawinkanmu’. Aku menunjuk Khalid bin Said bin Ash
sebagai waliku, kemudian aku memberi Abrahah dua gelang perak, gelang kaki yang
ada di kakiku, dan cincin perak yang ada di jari kakiku atas kegembiraanku
karena kabar yang dibawanya.” Ummu Habibah kembali dan Habasyah bersama
Syarahbil bin Hasanah dengan membawa hadiah-hadiah dari Najasyi, Raja Habasyah.
Berita pernikahan
Ummu Habibah dengan Rasulullah merupakan pukulan keras bagi Abu Sufyan. Tentang
hal itu, Ibnu Abbas meriwayatkan firman Allah, “Mudah-mudahan Allah menimbulkan
kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. …“
(QS. Al-Mumtahanah: 7). Ayat ini turun ketika Nabi Shalalahu ‘Alaihi Wassalam.
menikahi Ummu Habibah binti Abi Sufyan.
D. Hidup
bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam
Rasululullah
Shalallahu ‘Alaihi Wasallam mengutus Amru bin Umayyah ke Habasyah dengan membawa
dua tugas, yaitu mengabari kaum Muhajirin untuk kembali ke negeri mereka
(Madinah) karena posisi kaum muslimin sudah kuat serta untuk meminang Ummu
Habibah untuk Rasulullah. Di tengah perjalanan kembali ke Madinah mereka
mendengar berita kemenangan kaum muslimin atas kaum Yahudi di Khaibar.
Kegembiraan itu pun mereka rasakan di Madinah karena saudara mereka telah
kembali dari Habasyah. Rasulullah menyambut mereka yang kembali dengan suka
cita, terlebih dengan kedatangan Ummu Habibah. Beliau mengajak Ummu Habibah ke
dalam rumah, yang ketika itu bersamaan juga dengan pernikahan beliau dengan
Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab, putri salah seorang pimpinan Yahudi Khaibar
yang ditawan tentara Islam. Ketika itu Nabi membebaskan dan menikahinya.
Istri-istri Rasulullah lainnya menyambut kedatangan Ummu Habibah dengan hangat
dan rasa hormat, berbeda dengan penyambutan mereka terhadap Shafiyyah.
Perjalanan hidup Ummu
Habibah di tengah keluarga Rasulullah tidak banyak menimbulkan konflik antar
istri atau mengundang amarah beliau. Selain itu, belum juga ada riwayat yang
mengisahkan tingkah laku Ummu Habibah yang menunjukkan rasa cemburu.
E. Posisi
yang Sulit
Telah kita sebutkan
di atas tentang posisi Ummu Habibah yang istimewa di antara istri-istri
Rasulullah. Ayahnya adalah seorang pemimpin kaum musyrik ketika Ummu Habibah
mendapat cahaya keimanan, dan dia menghadapi kesulitan ketika harus menjelaskan
keyakinan itu kepada orang tuanya.
Orang-orang Quraisy
mengingkari perjanjian yang telah mereka tanda-tangani di Hudaibiyah bersama
Rasulullah. Mereka menyerang dan membantai Bani Qazaah yang telah terikat
perjanjian perlindungan dengan kaum muslimin. Untuk mengantisipasi hal itu,
Rasulullah berinisiatif menyerbu Mekah yang di dalamnya tinggal Abu Sufyan dan
keluarga Ummu Habibah. Orang-orang Quraisy Mekah sudah mengira bahwa kaum
muslimin akan menyerang mereka sebagai balasan atas pembantaian atas Bani
Qazaah yang mereka lakukan. Mereka sudah mengetahui kekuatan pasukan kaum
muslimin sehingga mereka memilih jalan damai. Diutuslah Abu Sufyan yang dikenal
dengan kemampuan dan kepintarannya dalam berdiplomasi untuk berdamai dengan
Rasulullah.
Sesampainya di
Madinah, Abu Sufyan tidak langsung menemui Rasulullah, tetapi terlebih dahulu
menemui Ummu Habibah dan berusaha memperalat putrinya itu untuk kepentingannya.
Betapa terkejutnya Ummu Habibah ketika melihat ayahnya berada di dekatnya
setelah sekian tahun tidak berjumpa karena dia hijrah ke Habasyah. Di sinilah
tampak keteguhan iman dan cinta Ummu Habibah kepada Rasulullah. Abu Sufyan
menyadari keheranan dan kebingungan putrinya, sehingga dia tidak berbicara.
Akhirnya Abu Sufyan masuk ke kamar dan duduk di atas tikar. Melihat itu, Ummu
Habibah segera melipat tikar (kasur) sehingga tidak diduduki oleh Abu Sufyan.
Abu Sufyan sangat kecewa melihat sikap putrinya, kemudian berkata, “Apakah kau
melipat tikar itu agar aku tidak duduk di atasnya atau menyingkirkannya
dariku?” Ummu Habibah menjawab, “Tikar ini adalah alas duduk Rasulullah,
sedangkan engkau adalah orang musyrik yang najis. Aku tidak suka engkau duduk
di atasnya.” Setelah itu Abu Sufyan pulang dengan merasakan pukulan berat yang
tidak diduga dari putrinya. Dia merasa bahwa usahanya untuk menggagalkan
serangan kaum muslimin ke Mekah telah gagal. Ummu Habibah telah menyadari apa
yang akan terjadi. Dia yakin akan tiba saatnya pasukan muslim menyerbu Mekah
yang di dalamnya terdapat keluarganya, namun yang dia ingat hanya Rasulullah.
Dia mendoakan kaum muslimin agar memperoleh kemenangan.
Allah mengizinkan
kaum muslimin untuk membebaskan Mekah. Rasulullah bersama ribuan tentara Islam
memasuki Mekah. Abu Sufyan merasa dirinya sudah terkepung puluhan ribu tentara.
Dia merasa bahwa telah tiba saatnya kaum muslimin membalas sikapnya yang selama
ini menganiaya dan menindas mereka. Rasulullah sangat kasihan dan mengajaknya
memeluk Islam. Abu Sufyan menerima ajakan tersebut dan menyatakan keislamannya
dengan kerendahan diri. Abbas, paman Rasulullah, meminta beliau menghormati Abu
Sufyan agar dirinya merasa tersanjung atas kebesarannya. Abbas berkata,
“Sesungguhnya Abu Sufyan itu seorang yang sangat suka disanjung.” Di sini
tampaklah kepandaian dan kebijakan Rasulullah. Beliau menjawab, “Barang siapa
yang memasuki rumah Abu Sufyan, dia akan selamat. Barang siapa yang menutup
pintu rumahnya, dia pun akan selamat. Dan barang siapa yang memasuki Masjidil
Haram, dia akan selamat.” Begitulah Rasulullah menghormati kebesaran seseorang,
dan Allah telah memberi jalan keluar yang baik untuk menghilangkan kesedihan
Ummu Habibah dengan keislaman ayahnya.
F. Akhir
sebuah Perjalanan
Setelah Rasulullah
Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. wafat, Ummu Habibah hidup menyendiri di rumahnya
hanya untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam kejadian fitnah besar atas kematian Utsman bin Affan, dia tidak berpihak
kepada siapa pun. Bahkan ketika saudaranya, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, berkuasa,
sedikit pun dia tidak berusaha mengambil kesempatan untuk menduduki posisi
tertentu. Dia juga tidak pernah menyindir Ali bin Abi Thalib lewat sepatah kata
pun ketika bermusuhan dengan saudaranya itu. Dia pun banyak meriwayatkan hadits
Nabi yang kemudian diriwayatkan kembali oleh para sahabat. Di antara hadits
yang diriwayatkannya adalah: “Aku mendengar Rasulullah bersabda,
“Barang siapa yang
shalat sebanyak dua belas rakaat sehari semalam, niscaya Allah akan membangun
baginya rumah di surga.’ Ummu Habibah berkata, “Sungguh aku tidakpernah
meninggalkannya setelab aku mendengar dari Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi
Wassalam.” (HR. Muslim)
Ummu Habibah wafat pada
tahun ke-44 hijrah dalam usia tujuh puluh tahun. Jenazahnya dikuburkan di Baqi’
bersama istri-istri Rasulullah yang lain. Semoga Allah memberinya kehormatan di
sisi-Nya dan menempatkannya di tempat yang layak penuh berkah. Amin.
BAB
XI
ISTRI
KE SEBELAS
Maimunah
Binti al-Harits (Wafat 50 H)
Maimunah binti
al-Harits al-Hilaliyah adalah istri Nabi yang sangat mencintai beliau dengan
tulus selama mengarungi bahtera numah tangga bersama. Dialah satu-satunya
wanita yang dengan ikhlas menyerahkan dirinya kepada kepada Rasulullah ketika
keluarganya hidup dalam kebiasaan jahiliyah. Allah telah menurunkan ayat yang
berhubungan dengan dirinya:
“.. dan perempuan
mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya,
sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukminin…” (QS.
Al-Ahzab:50)
Ayat di atas
merupakan kesaksian Allah terhadap ke ikhlasan Maimunah kepada Allah dan
Rasul-Nya. Bagaimana mungkin Rasulullah menolak wanita yang dengan suka rela
menyerahkan dirinya. Hal itu menunjukkan kadar ketakwaan dan keimanan Maimunah.
Selain itu, wanita itu berasal dari keturunan yang baik. Kakak kandungnya,
Ummul-Fadhal, adalah istri Abbas bin Abdul-Muththalib (paman Nabi) dan wanita
yang pertama kali memeluk Islam setelah Khadijah. Saudara perempuan seibunya
adalah Zainab binti Khuzaimah (istri Nabi Shallallahu alaihi wasallam.), Asma
binti Umais (istri Ja’far bin Abu Thalib), dan Salma binti Umais (istri Hamzah
bin Abdul-Muththalib).
A. Nasab,
Masa Pertumbuhan, dan Pernikahan
Nama lengkap Maimunah
adalah Barrah binti al-Harits bin Hazm bin Bujair bin Hazm bin Rabiah bin
Abdullah bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah. Ibunya bernama Hindun binti Aus bin
Zubai bin Harits bin Hamathah bin Jarsy.
Dalam keluarganya,
Maimunah termasuk dalam tiga bersaudara yang memeluk Islam. Ibnu Abbas
meriwayatkan dari Rasulullah, “Al-Mu’minah adalah tiga bersaudara, yaitu
Maimunah, Ummu-Fadhal, dan Asma’.” Maimunah dilahirkan enam tahun sebelum masa
kenabian, sehingga dia mengetahui saat-saat orang-orang hijrah ke Madinah. Dia
banyak terpengaruh oleh peristiwa hijrah tersebut, dan juga banyak dipengaruhi
kakak perempuannya, Ummul-Fadhal, yang telah lebih dahulu memeluk Islam, namun
dia menyembunyikan keislamannya karena merasa bahwa lingkungannya tidak mendukung.
Tentang suaminya,
banyak riwayat yang memperselisihkannya, namun ada juga kesepakatan mereka
tentang asal-usul suaminya yang berasal dan keluarga Abdul-Uzza (Abu Lahab).
Sebagian besar riwayat mengatakan bahwa nama suaminya adalah Abu Rahm bin
Abdul-Uzza, seorang muysrik yang mati dalam keadaan syirik. Suaminya
meninggalkan Maimunah sebagai janda pada usia 26 tahun.
Kekokohan Iman
Setelah suaminya
meninggal, dengan leluasa Maimunah dapat menyatakan keimanan dan kecintaannya
kepada Rasulullah. Sehingga dengan suka rela dia menyerahkan dirinya kepada
Rasulullah untuk dinikahi sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Hisyam dalam
Al-Ishabah-nya Ibnu Hajar dari referensi az-Zuhri.
Tentang penyerahan
Maimunah kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam ini telah dinyatakan dalam
Al-Qur’an surat al-Ahzab:50. Maimunah tinggal bersama saudara perempuannya,
Ummul Fadhal, istri Abbas bin Abdul Muththalib. Suatu ketika, kepada kakaknya,
Maimunah menyatakan niat penyerahan dirinya kepada Rasulullah. Ummul-Fadhl
menyampaikan berita itu kepada suaminya sehingga Abbas pun mengabarkannya
kepada Rasulullah. Rasulullah mengutus seseorang kepada Abbas untuk meminang
Maimunah. Betapa gembiranya perasaan Maimunah setelah mengetahui kesediaan
Rasulullah menikahi dirinya.
B. Mimpi
yang Menjadi Kenyataan
Pada tahun
berikutnya, setelah perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah bersama kaum muslimin
memasuki Mekah untuk melaksanakan ibadah umrah. Sesuai dengan isi perjanjian
Hudaibiyah, Nabi diizinkan untuk menetap di sana selama riga hari, namun orang-orang
Quraisy menolak permintaan Nabi dan kaum muslimin untuk berdiam di sana lebih
dari tiga hari. Kesempatan itu digunakan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam
Untuk melangsungkan pernikahan dengan Maimunah. Setelah pernikahan itu, beliau
dan kaum muslimin meninggalkan Mekah.
Maimunah mulai
memasuki kehidupan rumah tangga Rasulullah dan beliau menempatkannya di kamar
tersendiri. Maimunah memperlakukan istri-istri beliau yang lain dengan baik dan
penuh hormat dengan tujuan mendapatkan kerelaan hati beliau semata.
Tentang Maimunah,
Aisyah menggambarkannya sebagai berikut. “Demi Allah, Maimunah adalah wanita
yang baik kepada kami dan selalu menjaga silaturahmi di antara kami.” Dia
dikenal dengan kezuhudannya, ketakwaannya, dan sikapnya yang selalu ingin mendekatkan
diri kepada Allah. Riwayat-riwayat pun menceritakan penguasaan ilmunya yang
luas.
C. Saat
Wafatnya
Pada masa
pemerintahan Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, bertepatan dengan perjalanan
kembali dari haji, di suatu tempat dekat Saraf, Maimunah merasa ajalnya
menjelang tiba. Ketika itu dia berusia delapan puluh tahun, bertepatan dengan
tahun ke-61 hijriah. Dia dimakamkan di tempat itu juga sebagaimana wasiat yang
dia sampaikan. Menurut sebagian riwayat, dia adalah istri Nabi yang terakhir
meninggal. Semoga Allah memberi tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
BAB
XII
ISTRI
KEDUA BELAS
Mariyah
al-Qibtiyah (Wafat-16H/637 M)
Seorang wanita asal
Mesir yang dihadiahkan oleh Muqauqis, penguasa Mesir kepada Rasulullah tahun 7
H. Setelah dimerdekakan lalu dinikahi oleh Rasulullah dan mendapat seorang
putra bernama Ibrahim. Sepeninggal Rasulullah dia dibiayai oleh Abu Bakar
kemudian Umar dan meninggal pada masa kekhalifahan Umar.
Seperti halnya
Sayyidah Raihanah binti Zaid, Mariyah al-Qibtiyah adalah budak Rasulullah yang
kemudian beliau bebaskan dan beliau nikahi. Rasulullah memperlakukan Mariyah
sebagaimana beliau memperlakukan istri-istri beliau yang lainnya. Abu Bakar dan
Umar pun memperlakukan Mariyah layaknya seorang Ummul-Mukminin. Dia adalah
istri Rasulullah satu-satunya yang melahirkan seorang putra, Ibrahim, setelah
Khadijah.
A. Dari
Mesir ke Yastrib
Tentang nasab
Mariyah, tidak banyak yang diketahui selain nama ayahnya. Nama lengkapnya
adalah Mariyah binti Syama’un dan dilahirkan di dataran tinggi Mesir yang
dikenal dengan nama Hafn. Ayahnya berasal dan Suku Qibti, dan ibunya adalah
penganut agarna Masehi Romawi. Setelah dewasa, bersama saudara perempuannya,
Sirin, Mariyah dipekerjakan pada Raja Muqauqis.
Rasulullah mengirim
surat kepada Muqauqis melalui Hatib bin Baltaah, menyeru raja agar memeluk
Islam. Raja Muqauqis menerima Hatib dengan hangat, namun dengan ramah dia
menolak memeluk Islam, justru dia mengirimkan Mariyah, Sirin, dan seorang budak
bernama Maburi, serta hadiah-hadiah hasil kerajinan dari Mesir untuk
Rasulullah. Di tengah perjalanan Hatib merasakan kesedihan hati Mariyah karena
harus meninggalkan kampung halamannya. Hatib menghibur mereka dengan
menceritakan Rasulullah dan Islam, kemudian mengajak mereka memeluk Islam. Mereka
pun menerima ajakan tersebut.
Rasulullah telah
menerima kabar penolakan Muqauqis dan hadiahnya, dan betapa terkejutnya
Rasulullah terhadap budak pemberian Muqauqis itu. Beliau mengambil Mariyah
untuk dirinya dan menyerahkan Sirin kepada penyairnya, Hasan bin Tsabit.
Istri-istri Nabi yang lain sangat cemburu atas kehadiran orang Mesir yang
cantik itu sehingga Rasulullah harus menitipkan Mariyah di rumah Haritsah bin
Nu’man yang terletak di sebelah rnasjid.
B. Ibrahim
bin Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam
Allah menghendaki
Mariyah al-Qibtiyah melahirkan seorang putra Rasulullah setelah Khadijah
Radhiyallahu ‘anha. Betapa gembiranya Rasulullah mendengar berita kehamilan
Mariyah, terlebih setelah putra-putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayah
meninggal dunia.
Mariyah mengandung
setelah setahun tiba di Madinah. Kehamilannya membuat istri-istri Rasul cemburu
karena telah beberapa tahun mereka menikah, namun tidak kunjung dikaruniai
seorang anak pun. Rasulullah menjaga kandungan istrinya dengan sangat hati-hati.
Pada bulan Dzulhijjah tahun kedelapan hijrah, Mariyah melahirkan bayinya yang
kemudian Rasulullah memberinya nama Ibrahim demi mengharap berkah dari nama
bapak para nabi, Ibrahim Alaihissalam. Lalu beliau memerdekakan Mariyah
sepenuhnya. Kaum muslimin menyambut kelahiran putra Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam dengan gembira.
Akan tetapi, di
kalangan istri Rasul lainnya api cemburu tengah membakar, suatu perasaan yang
Allah ciptakan dominan pada kaum wanita. Rasa cemburu semakin tampak bersamaan
dengan terbongkarnya rahasia pertemuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dengan Mariyah di rumah Hafshah sedangkan Hafshah tidak berada di rumahnya. Hal
ini menyebabkan Hafshah marah. Atas kemarahan Hafshah itu Rasulullah
mengharamkan Mariyah atas diri beliau. Kaitannya dengan hal itu, Allah telah
menegur lewat firman-Nya:
“Hai Muhammad,
mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari
kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “
(QS. At-Tahriim:1)
Aisyah mengungkapkan
rasa cemburunya kepada Mariyah, “Aku tidak pernah cemburu kepada wanita kecuali
kepada Mariyah karena dia berparas cantik dan Rasulullah sangat tertarik
kepadanya. Ketika pertama kali datang, Rasulullah menitipkannya di rumah
Haritsah bin Nu’man al-Anshari, lalu dia menjadi tetangga kami. Akan tetapi,
beliau sering kali di sana siang dan malam. Aku merasa sedih. Oleh karena itu,
Rasulullah memindahkannya ke kamar atas, tetapi beliau tetap mendatangi tempat
itu. Sungguh itu lebih menyakitkan bagi kami.” Di dalam riwayat lain dikatakan
bahwa Aisyah berkata, “Allah memberinya anak, sementara kami tidak dikaruni
anak seorang pun.”
Beberapa orang dari
kalangan golongan munafik menuduh Mariyah telah melahirkan anak hasil perbuatan
serong dengan Maburi, budak yang menemaninya dari Mesir dan kemudian menjadi
pelayan bagi Mariyah. Akan tetapi, Allah membukakan kebenaran untuk diri
Mariyah setelah Ali Radhiyallahu ‘anhu menemui Maburi dengan pedang terhunus.
Maburi menuturkan bahwa dirinya adalah laki-laki yang telah dikebiri oleh raja.
Pada usianya yang
kesembilan belas bulan, Ibrahim jatuh sakit sehingga meresahkan kedua orang
tuanya. Mariyah bersama Sirin senantiasa menunggui Ibrahim. Suatu malam, ketika
sakit Ibrahim bertambah parah, dengan perasaan sedih Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersama Abdurrahman bin Auf pergi ke rumah Mariyah. Ketika Ibrahim
dalam keadaan sekarat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kami
tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah, wahai Ibrahim.”
Tanpa beliau sadari,
air mata telah bercucuran. Ketika Ibrahim meninggal dunia, beliau kembali
bersabda,
“Wahai Ibrahim,
seandainya ini bukan penintah yang haq, janji yang benar, dan masa akhir kita
yang menyusuli masa awal kita, niscaya kami akan merasa sedih atas kematianmu
lebih dari ini. Kami semua merasa sedih, wahai Ibrahim… Mata kami menangis,
hati kami bersedih, dan kami tidak akan mengucapkan sesuatu yang menyebabkan
murka Allah.”
Demikianlah keadaan
Nabi ketika menghadapi kematian putranya. Walaupun tengah berada dalam
kesedihan, beliau tetap berada dalam jalur yang wajar sehingga tetap menjadi
contoh bagi seluruh manusia ketika menghadapi cobaan besar. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam mengurus sendiri jenazah anaknya kemudian beliau
menguburkannya di Baqi’.
C. Saat
Wafatnya
Setelah Rasulullah
wafat, Mariyah hidup menyendiri dan menujukan hidupnya hanya untuk beribadah
kepada Allah. Dia wafat lima tahun setelah wafatnya Rasulullah, yaitu pada
tahun ke-16 hijrah, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah
sendiri yang menyalati jenazah Sayyidah Mariyah al-Qibtiyah, kemudian
dikebumikan di Baqi’. Semoga Allah menempatkannya pada kedudukan yang mulia dan
penuh berkah. Amin.
Sumber
: https://edywitanto.wordpress.com/rukun-isslam-rukun-iman-2/biografi-
khadijah-binti-khuwailid/
Komentar
Posting Komentar